Jumat, 21 Oktober 2011

Perbedaan Pandangan Ulama/Madzhab Ushul Di Seputar Istihsan Dan Istishab


PEMBAHASAN
Perbedaan Pandangan Ulama/Madzhab Ushul Di Seputar Istihsan Dan Istishab

Istihsan
A.    Pengertian Istihsan
Menurut bahasa Istihsan berarti menganggap sesuatu hal adalah baik, sedangkan menurut istilah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hokum kulli untuk menjalankan hokum istisnai (pengecualian) disebabkan ada  dalil yang menurut logika membenarkannya.[1]
1.      Istihsan qiyasi
ترجيح قياس خفي على قياس جلي بناء على دليل
Menggunakan qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu. Meskipun kedudukan qiyas jali lebih diutamakan dari pada qiyas khafi, karena kejelasan ‘illatnya, namun menurut ulama Hanafiyah jika di dalam qiyas khafi terdapat kemaslahatan (kebaikan) yang lebih besar dibanding menggunakan qiyas jail, maka penggunaan qiyas jail boleh ditinggalkan dan memakai qiyas khafi, istilah ini dikenal juga dengan istihsan qiyasi. 
2.      Istihsan istisnai

إستثناء مسألة جزئية من أصل كلي او قاعدة عامة بناء على دليل خاص يقتضى ذلك

Yaitu hokum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan istisnai terbagi ke dalam beberapa macam, diantaranya:
a.       Istihsan binnas, yaitu hokum pengeculian yang berdasarkan al-quran dan hadits, contohnya secara umum orang yang makan atau minum di siang hari, padahal ia sedang bepuasa, maka batal puasanya, namun ada hadits yang menjelaskan pengecualiannya, yaitu bagi orang yang lupa melakukan makan atau minum di siang hari dalam keadaan puasa, maka hendaknya ia menyelesaikan puasanya hingga terbenam matahari.
b.      Istihsan berdasarkan Ijma’, misalnya ada hadits yang melarang jual beli barang yang belum ada ketika akad (barang pesanan), namun tak ada satu pun ulama yang melarang prakteknya di masayarakat, asalkan unsur keridhoan antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tetap menyertai akad tersebut, sehingga hal tersebut dianggap telah disepakati (ijma’).
c.       Istihsan ‘Urf (adat kebiasaan), misalnya, menurut ketentuan umum bahwa ketentuan hokum wakaf hanya boleh terhadap benda yang tak bergerak dan kekal, seperti tanah, namun jika di berbagai negri terdapat kebiasaan wakaf terhadap benda yang dapat bergerak dan berubah seperti buku dan alat-alat perkakas, maka hukumnya adalah boleh.
d.      Istihsan maslahah mursalah, misalnya, menurut kaidah umum penyewa barang yang mendapati barang tersebut rusak karena bencana alam tidak dikenakan ganti rugi, namun untuk menjaga kepercayaan dan kemaslahatan bersama maka para ulama fiqih menganjurkan dan membebani kepada penyewa untuk menggantinya.

B.     Kehujjahan Istihsan
Menurut ulama hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hokum syara’, alasannya adalah:
1.      Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
Artinya: “yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-zumar: 18)
2.      Hadits Nabi SAW

ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya: “apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka baik pula di sisi Allah” (HR. Ahmad). [2]

3.      Kaidah-kaidah ushuliyah
الضرورة تبيح المحظورات

“keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”

درؤ المفاسد و جلب المصالح

“menolak kerusakan dan meraih kemaslahatan”

C.    Kelompok yang menolak Istihsan sebagai dalil
Imam Syafi’I, Zahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah adalah ulama yang menolak penggunaan istihsan dalam metode istimbatnya, beliau memiliki beberapa alasan,  diantaranya:
1.      Ayat alqur’an
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ  
Artinya: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-maidah: 49)
2.      Hokum syara’ itu ditetapkan berdasarkan Al-qur’an dan Hadits, serta pemahaman dari nash melalui kaidah Ijma’ dan Qiyas, sedangkan Istihsan tidak didasarkan keempat hal tersebut.
3.      Istihsan ditengarai Imam Syafi’I merupakan metode penetapan hukum yang hanya mengandalkan nafsu semata, tanpa merujuk ken ash, sehingga beliau cendrung tidak menggunakannya dalam menetapkan sebuah hukum.
4.      Beliau takut melampaui batas, sebab amat sangat sulit menentukan criteria baik dan buruk, meningat Istihsan adalah metode istimbat yang dilandaskan asas baik buruknya sesuatu.[3]

Istihsab
A.    Pengertian Istihsab
Secara bahasa berarti “meminta sahabat atau ikut secara terus menerus”, sedangkan menurut istilah adalah menganggap tetapnya sesuatu seperti keadaan semula, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Menurut Ibnu al-Qayyim al-jauziyah yaitu menetapkan berlakunya suatu hokum yang telah ada sampai ada bukti yang mengubah keadaan. [4] sedangkan menurut Imam Gazali dan Ibnu Hazm yaitu memberlakukan hokum asal berdasarkan nash sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hokum. Sebagai contoh seseorang yang awalnya yakin memiliki wudhu namun ragu dalam menyikapi batal atau tidaknya, selama ia tak menemukan bukti nyata yang memperkuat bahwa ia telah batal, maka hukumnya ia masih memiliki wudhu.
B.      Macam-macam Iistihsab
Menurut Abu Zahrah, ada 4 macam Istihsab, yaitu:
1.      Istishab al-ibahah al-ashliyah, yaitu Istishab yang didasarkan pada hokum asal yang mubah (boleh), contohnya seseorang boleh makan, minum, tidur dan sebagainya sampai ada dalil yang melarang untuk melakukan itu.
2.      Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu yang didasarkan pada prinsip bahwa sesorang bebas dari tuntutan beban hokum (taklif) sampai ada dalil yang mengubah statusnya, contohnya seseorang yang awalnya memiliki emas mencapai 1 nishab namun belum haul (1 tahun), maka tak terkena wajib zakat, namun jika harta tetap dan telah mencapai haul, maka ia dibebani hokum dengan wajib membayar zakat.
3.      Istishab al-hukm, yaitu yang didasarkan pada tetapnya status hokum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya, contoh seseorang adalah pemilik tetap sebuah barang sebelum barang aitu dijual, jika dijual maka sudah bukan miliknya lagi
4.      Istishab al-wasf, yaitu yang didasarkan atas anggapan bahwa sifat sesuatu itu akan tetap selama tak ada bukti yang mengubahnya, contoh air pada dasarnya adalah suci sampai ditemukan dalail atau bukti yang mebuat air air itu hilang sifat kesuciannya.

C.    Perbedaan pendapat ulama mengenai Istishab
Para ulama terutama imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) ditambah Zhahiri dan Syi’ah sepakat bahwa ketiga macam istishab (al-ibahah al-ashliyah, al-baraah al-ashliyah dan al-hukm) adalah sah digunakan sebagai landasan hokum, namun bagi Istishab al-wasf, para ulama berbeda pendapat, Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa istidhab al-wasf dapat dijadikan landasan secara penuh. Sedangkan kalangan Malikiyyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa Istishab al-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada. [5]

D.    Kaidah-kaidah Istishab

 الأصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره

Maksudnya adalah hukum asal akan tetap berlaku sampai ditemukan dalil yang menunjukkan ketidakberlakuannya.

الأصل فى الأشياء الإباحة

Pada dasarnya hokum melakukan sesuatu hal yang bermanfaat adalah boleh sampai ada dalil yang melarang untuk melakukannya.  

اليقين لا يزال باالشك

Sebuah keyakinan tak akan pernah dicampuradukkan dengan sesuatu yang meragukan. Artinya keraguan tak bisa membatalkan sesuatu yang pasti.[6]





KESIMPULAN


1.      Istihsan terbagi dua, yaitu istihsan qiyasi (Menggunakan qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu) dan istihsan istisnai (hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
2.       Istihsan istisnai terbagi ke dalam beberapa macam, diantaranya: Istihsan binnas (al-quran dan hadits), Istihsan berdasarkan, Istihsan ‘Urf (adat kebiasaan), dan  Istihsan maslahah mursalah
3.      Menurut ulama hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hokum syara’, sedangkan Imam Syafi’I, Zahiriyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah adalah ulama yang menolak penggunaan istihsan.
4.      Istishab secara bahasa “meminta sahabat atau ikut secara terus menerus”, sedangkan menurut istilah adalah menganggap tetapnya sesuatu seperti keadaan semula, selama belum ada dalil yang mengubahnya
5.      Macam Istihsab: Istishab al-ibahah al-ashliyah (hukum asal yang mubah), Istishab al-baraah al-ashliyah, Istishab al-hukm, dan Istishab al-wasf.










DAFTAR PUSTAKA


Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. Ke-3
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, cet. Ke-1
SA, Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Yahya, Mukhtar, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, Bandung: Al-Ma’arif, 1993


[1] Mukhtar Yahya, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), h.100
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 142-146
[3] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),  h. 153-156
[4] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), cet. Ke-1,  h. 128
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqh, … ,  h.160-162
[6]Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, … , h. 136-137