Sabtu, 26 November 2011

Pandangan politik syi’ah, khawarij dan mu’tazilah

BAB I
PENDAHULUAN





BAB II
PEMBAHASAN
Pandangan politik syi’ah, khawarij dan mu’tazilah
A.    Khawarij
1.      Kelahiran
Khawarij adalah sebuah barisan yang membangkang dan keluar dari barisan Ali R.A. dan meninggalkannya serta membuat barisan baru, karena tidak setuju dengan peristiwa tahkim karena persengketaan yang terjadi antara Ali R.A. dan Mu’awiyah pada perang Siffin. Tahkim yang dimaksud adalah memutuskan suatu perkara dengan perantara orang lain (hakam), bukan dengan Al-quran atau hadits, maka dari sinilah awal mula keluarnya Khawarij dari kedua golongan di atas (Ali R.A. dan mu’awiyah) dan membentuk barisan baru.
Khawarij adalah aliran teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut khawarij adalah setiap orang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar, yang akhirnya diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada umumnya mereka adalah orang-orang Arab Badui yang memiliki gaya hidup dan pemikiran yang sederhana namun memiliki hati yang keras, pemberani dan bersifat merdeka, tidak bergantung pada orang lain dan cendrung radikal.[1]
Teori yang menjadi pijakan mazhab ini, menurut Abu Hasan asy-sya’ri, yang pertama adalah wajib keluar dari atau memberontak kepada pemguasa yang dzhalim, dan yang kedua penilaian mereka secara umum terhadap Ali R.A. dan imam-imam sebelumnya, sebenarnya mereka mengakui legalitas pembaiatan Abu bakar R.A. dan Umar R.A. menghargai karya mereka dan menaati mereka hingga akhir pemerintahan mereka, dan menaati Utsman R.A. selama enam tahun pertama dari masa kekhalifahannya, dan menolak sisa periodenya, serta mengakui keabsahan pembaiatan dan menaati pemerintahan Ali R.A. sampai peristiwa tahkim terjadi. Selepas itu mereka mengesampingkan Ali R.A. bahkan memvonisnya sebagai orang yang kafir, sebagaimana mereka juga memvonis kafir Utsman R.A. dalam masa setelah enam tahun pemerintahannya.
Alasannya adalah karena menurut mereka tak ada perbedaan antara maksiat dan kekafiran, karena melanggar salah satu darri bagian undang-undang, sama dengan melanggarnya secara keseluruhan. Mereka juga mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal, perang Siffin, periatiwa Hakamain (dua orang juri) dan Muawiyah beserta rekan-rekannya.
Aliran Khawarij terdiri dari 20 firqoh, namun yang terkenal dan paling utama ada lima, yaitu:
a.       Al-zariqah,
yaitu pengikut Nafi’ bin Azraq, mereka berpendapat bahwa anak dari orang yang tidak sepaham dengannnya halal darahnya dan kelak akan masuk neraka, artinya bahwa seseorang yang telah berbuat dosa besar, sehingga menyebabkan kekafiran, akan diwariskan keketurunannya, sekalipun masih kecil, sebab mereka adalah buah dari hasil pemikiran orang tuanya yang berdosa besar. [2]
b.      An-najdat
Adalah pengikut najdat bin Athiyah bin Amir al-hanafi yang keluar dari al-zariqoh, karena perbedaan pendapat tentang pembunuhan anak kecil yang orang tuanya tidak sepaham dengannya, karena Rasul pun pernah melarangnya, dan Allah pun telah berfirman, yang artinya: “seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. [3]
c.       As-shafariyah
yaitu pengikut Ziyad al-ashfar, mereka sepakat kalau pembunuhan terhadap anak dari pelaku dosa besar itu dilarang, dan mereka juga mengungkapkan bahwa baraah (kebebasan diri) adalah sengaja mengingkari orang yang melakukan dosa besar, karena menganggap bahwa perintah dan larangannya tak layak disebut dan dipatuhi sebagaimana larangan dan perintah pada umumnya.
d.      Al-‘ajaridah
Yaitu pengikut Abd al-karim bin ‘arjad, aliran ini merupakan pecahan dari al-najdat, maka pandangan mereka mengenai anak orang musyrik adalah sama dengan al-najdat, mereka dihukum kafir sebagaimana bapaknya.
e.       Al-ibadhiyyah
Adalah pengikut Abdullah bin Ibadh al-tamimi, aliran ini paling toleran jika disbanding dengan aliran khawarij lainnya, sampai-sampai ia tak suka jika disebut sebagai aliran khawarij, karena ada beberapa pandangan al-ibadiyah yang bertentangan dengan pandangan khawarij pada umumnya, buktinya adalah salah satu tokoh terkemukanya yaitu al-rabi’ bin habib al-farahidi menyusun sebuah kitab musnad yang shahih, untuk berlepas diri dari kaum khawarij, dan  beliau pernah berkata bahwa biarkan saja kaumkhawarij membuktikan ucapan mereka dalam tindakan nyata, kalau mereka hanya berkata saja maka dosa atas ucapan mereka berada di pundak mereka. [4]
2.      Pandangan Khawarij tentang imamah
Mereka berpendapat bahwa bumi ini tidak boleh kosong dari kehadiran imam, dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa hokum mengangkat sebuah pemimpin adalah wajib menurut Khawarij. Menurut mereke keimamahan adalah hak bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat, seperti: berilmu, berlaku adil, dan berani, tanpa harus melihat keturunan, kabilah dan jenis kelamin. Ini yang menjadi alasan kenapa mereka dinamakan khawarij, karena mereka keluar dari barisan Ali R.A. karena mereka berani berbeda pendapat, termasuk dalam masalah keimamahan, menurut mereka bahwa diperbolehkan seorang menjadi imam dengan syarat adil, berilmu, dan berani, meski bukan dari kalangan Quraisy. Mereka juga berpendapat bahwa imam/khalifah harus diangkat melalui pemilihan bebas kaum muslim, dan kalau sudah terpilih, ia tidak boleh dihukum.[5]

B.     Syi’ah
1.      Kelahiran
Syiah merupakan kelompok minoritas di kalangan Sunni (ahlu al-sunnah wa al-jama’ah), Syiah memiliki pandangan berbeda dengan yang lainnya, kelompok ini percaya bahwa sebelum Nabi SAW telah menentukan penggantinya sebagai pemimpin, sebelum beliau SAW wafat, yaitu Ali R.A. yang merupakan saudara sepupunya sendiri yang juga menjadi menantu beliau. Syiah berarti partai, sedangkan nama aslinya adalah Syiah Ali (partai Ali), namun untuk menyederhanakan penyebutan, hingga saat ini dikenal sebagai Syiah saja.
Alasan mereka adalah karena ketika melakukan Haji Wada’, Rasul pernah membuat sebuah proklamasi tentang hal ini, yang berbunyi: “barang siapa yang menganggap saya sebagai pemimpin, maka harus pula menganggap Ali sebagai pemimpin”. Mereka semakin yakin dengan adanya fakta-fakta yang memperkuat hal tersebut di atas, tentang keistimewaan Ali disbanding yang lain, antara lain adalah: beliau masuk Islam semenjak kanak-kanak, beliau termasuk orang yang pemberani dalam berbagai medan pertempuran, dan berbagai sifat lain yang dianggap melampaui sifat keistimewaan yang dimiliki oleh kaum muslimin pada umumnya.
Firqah utama Syi’ah ada empat, yaitu:
a.       Al-kisaniyah
Aliran ini bermula ketika Kaisan Abu Umar (Tawanan perang Paris yang dimerdekakan Ali) memberikan rekomendasi bahwa hak imamah sepeninggalan Imam Husain bina Ali bukanlah Ali zainal Abidin, akan tetapi yang berhak adalah Muhammad bin Hanafiah (putera ketiga Ali bin Abi Thalib dari perkawinannya dengan wanita dari Bani Hanifah).
b.      Al-imamiyah
Syi’ah imamiyah, meyakini pemerintah adalah milik imam saja, yang seolah Ali dan kesebelas keturunannya telah disinggung dan berhak atas otoritas spiritual dan politis dalam komunitas Islam pasca Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah: Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain (Zainal Abidin), Muhammad bin Ali (al-baqir), Ja’far bin Muhammad (al-shadiq), Musa bin Ja’far (al-kazhim), Ali bin Musa (al-ridho), Muhammad bin Ali (al-jawwad), Ali bin Muhammad (al-hadi), Hasan bin Muhammad (al-askari), Muhammad bin Hasan (al-qaim) atau yang dikenal sebagai Imam al-mahdi.
c.       Az-zaidiyah
Aliran ini dibentuk oleh Zaid bin Ali. Aliran ini berpendapat bahwa imamah merupakan hal Ali  dan keturunannya dari Fathimah (keturunan alhasan dan alhusain) saja, atau dengan kata lain menolak aliran Kisaniyah. Mereka tidak menganut paham bahwa imam itu harus suci dari setiap kesalahan dan dosa, dan tidak mengutuk Bu bakar dan Umar, karena pada dasarnya aliran ini lebih cendrung kearah suni, mengingat pendiri aliran ini Zaid bin Ali pernah belajar kepada Washil bin Atha yang merupakan murid Imam Hasan al-bashri penganut Sunni.
d.      Al-ismailiyah (kelompok tujuh)
Aliran ini meyakini bahwa yang menjadi pengganti imam Ja’far Shadiq adalah putera tertuanya yaitu Ismail, bukan Musa al-kazim, walaupun pada kenyataannya Ismail mati ketika jabatan Musa al-kazim berlangsung, dan aliran ini tetap berpendapat bahwa Ismail tidaklah mati, akan tetapi menghilang dan akan kembali pada akhir zaman membangun kerajaan Allah, dan beliau menjabat sebagai imam ke 7, menggantikan Musa al-kazim, maka aliran ini disebut juga kelompok tujuh atau sub’ah. Dalam versi ismailiyah beliau bukan menjabat sebagai imamke-7, akan tetapi  imam ke-6, karena Ali bin Abi Tahlib adalah ashal/al-azas, sedangkan alhasan adalah imam pertama.[6]

2.      pandangan Syi’ah tentang imamah
Pada hakikatnya Syi’ah lah yang pertama kali menemukan ilmu tentang imamah, Syi’ah lah yang pertama kali mewarnai dengan karakter mereka dan membentuknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Atau dengan kata lain bahwa Syi’ah lah yang menjadi peletak dasar istilah imamah dalam hal perpolitikan umat muslim.[7]
Muhammad al-baqir, pernah berkata bahwa seseorang tidak beriman sampai ia mengenal Allah dan RasulNya, serta para imam dan imam di zamannya. Menurutnya ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah membenarkan Allah dan RasulNya, serta mengikuti Ali dan menjadikannya sebagai imam, dan imam-imam berpetunjuk.
Syiah, mengimani atau meyakini eksistensi imam adalah persoalan pokok, yang berarti tak sempurna (tidak sah) iman  seseorang yang tak meyakini keberadaan seorang imam. Dan mereka meyakini bahwa pemilihan imam pun wajib bagi Nabi untuk menunjuknya, karena imam merupakan salah satu rukun agama yang bersifat ma’shum (terhindar dari dosa kecil maupun besar), alasannya adalah:
a.       Kita tidak akan mengenal Allah tanpa Rasul dan imam
b.      Imam adalah wakil Allah dan Rasul di bumi, dan setiap wakil tidak akan bertindak kecuali atas izin yang diwakilkan,
c.       Jika yang imam bisa salah dan berdosa, ini bertentangan dengan perintah Allah untuk nahi munkar, sebab bagaimana seorang imam bisa menegakkan nahi munkar kalau dia sendiri masih melakukan yang munkar.
d.      Allah memerintahkan untuk mengikuti imam, kalaulah imam bersalah/berdosa, ini sangat bertentangan dengan af’al Allah, yaitu tak mungkin menyuruh kita mengikuti orang yang berbuat salah. [8]
Dalam Syiah, imam bukan hanya sekedar pemimpin masyarakat atau politik belaka, melainkan juga sebagai pemimpin agama. Sebab dalam Syiah tidak mengenal adanya pemisahan antara politik dan agama, setiap ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan ritual politik, karena pada dasarnya Islam bersifat keagamaan, mengingat bahwa Rasul diutus untuk menjalankan misi keagamaan, dan tak lupa pula bahwa dalam praktiknya Nabi harus bersinggungan dengan lingkungan dan keadaan tempat beliau menyebarkan ajaran, yang memiliki adat kebiasaan dan karakteristik tertentu, sehingga secara tidak langsung politik pun ikut serta sebagai misi diutusnya Rasul.[9]
Mereka menganggap bahwa masalah kepemimpinan umat adalah hal yang terlalu vital untuk diserahkan begitu saja pada musyawarah manusia biasa yang cendrung bisa melakukan kesalahan dalam memilih pemimpin, dan hal itu bisa menyalahi tujuan wahyu Ilahi. Olehkarena itu mereka mempercayai bahwa garis besar silsilah keluarga Nabi yang berasal dari suku Quraisy, teutama dari garis Fathimah (istri Ali R.A.)  lebih pantas memegang amanah ini ketimbang yang lain, dan mereka juga mengkultuskan bahwa imam terakhir ke-12 yaitu imam al-mahdi Muhammad bin Hasan (al-qaim) masih hidup dan akan datang kembali pada saat yang tepat nanti, yaitu waktu yang ditentukan oleh Tuhan, karena pada saat ini beliau masih sah memegang kekuasaan dan itu berarti keimamahan pun masih tetap berlaku sampai saat ini.
3.      Pandangan Imam Ayatullah Khomeini (pemikir politik kontemporer Syiah sekaligus pemimpin reolusi Islam Iran) tentang imamah
a.       Pendapatnya tentang wilayah alfaqih, yaitu kaum ulama memiliki jabatan/otoritas tertinggi dalam bidang politik dan agama.
b.      Islam bersifat politis, karena al-quran memuat 100 kali lebih banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah social dari pada ibadah. Dan dari 50 buku hadits, hanya 3 atau 4 yang membahas tentang kewajiban kepada TUhan,, selebihnya adalah membahasa tentang moralitas, masalah social, ekonomi, hokum dan politik, oleh karena itu Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan antara Tuhan dan makhlukNya saja, akan tetapi juga membahasa tentang hubungan antara manusia dengan manusia.
c.       Pemisahan agama dan politik serta tuntutan agar ulama tidak ikut campur dalam masalah social-politik merupakan bagian dari propaganda imperialism.
d.      Para faqih memiliki hak sebagai sebagai wakil imam dalam semua aspek keagamaan, sosial dan politik.
e.       Negara islam akan menjamin keadilan social, demokrasi yang sebenarnya, dan kemerdekaan yang murni dari imperialisme, sebab Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi, yang menjamin kebahagiaan manusia, dan keturunannya di dunia dan akhirat.[10]

C.    Mu’tazilah
1.      Kelahiran
Pada mulanya aliran ini menamakan dirinya sebagai a-qadariyah atau al-adaliyah serta mengaku dirinya sebagai ahlu adli wa tauhid (pengikut keadilan dan tauhid), awal mula kemunculannya adalah ketika Washil bin Atha’ (pelopor Mu’tazilah) berbeda pendapat dengan gurunya (Hasan Al-bashri) dan memisahkan diri, kemudian mendirikan sebuah aliran baru.
Alasannya adalah mereka tak sepakat dengan pendapat yang ada mengenai pengkafiran seseorang, mereka berusaha keluar dari pendapat yang umum yang berpendapat bahwa mereka itu tetap mukmin atau telah kafir. Justru mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar posisinya bukan sebagai mukmin dan juga bukan kafir, akan tetapi berada diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain) yaitu fasik.   
Prinsip Mu’tazilah adalah terang-terangan memerangi pemerintah yang dzholim, amar ma’ruf nahi munkar dan tidak ada kesempurnaan iman tanpa menerima keseluruhan dari akidah-akidah yang ada, seperti: tauhid, keadilan, janji, ancaman manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan amar ma’ruf nahi munkar.[11]
2.      Pandangan Mu’tazilah tentang imamah
Mu’tazilah tidak jauh berbeda dengan Khawarij dalam persyaratan menjadi imam, yaitu berilmu, adil dan berani, namun dalam hal keturunan, mereka cendrung berlebihan,mereka memang mebolehkan imam dari selain suku Quraisy, bahkan cendrung mengutamakan imam yang bukan dari Quraisy, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-syahrasatani, bahwa seandainya ada calon pemimpin dari suku Quraisy dan suku Nabatean, maka lebih baik mendahulukan orang Nabatean dari pada orang Quraisy, dan jika ada calon dari kaum Habasyi dan Quraisy yang pada kenyataannya mereka berdua sama-sama mengamalkan Al-quran dan Hadits, maka lebih baik mendahulukan habasyi ketimbang Quraisy, sebab Habasyi gampang diberhentikan dari keimamahan apabila terjadi penyimpangan dari dasar yang ada.[12]



[1] Abuddin Nata, Ilmu Kalam,  Filsafat dan  Tasawuf,  Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001, cet. 5. hal. 29.
[2] Amir Al-Najjar, ALIRAN KHAWARIJ-Mengungkap Akar Perselisihan Umat, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 61-62
[3] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf,  Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001, cet. 5. hal. 31-33
[4] Amir Al-Najjar, ALIRAN KHAWARIJ-Mengungkap Akar Perselisihan Umat, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 69-85
[5] Dhiauddin Rais, TEORI POLITIK ISLAM, (Jakarta: Gema Insan, 2001), h. 240
[6] Joesoef Sou’yb, PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN ALIRAN-ALIRAN SEKTE SYI’AH, (Jakarta: Pustaka Alhusna,  1982), h. 77-94
[7] Dhiauddin Rais, TEORI POLITIK ISLAM, (Jakarta: Gema Insan, 2001), h. 64, 119-122
[8] Dhiauddin Rais, TEORI POLITIK ISLAM, (Jakarta: Gema Insan, 2001), h.  118-122
[9] Rahman Zainuddin, SYI’AH DAN POLITIK DI INDONESIA: SEBUAH PENELITIAN, (Bandung: MIzan, 2000), h. 52
[10] Rahman Zainuddin, SYI’AH DAN POLITIK DI INDONESIA: SEBUAH PENELITIAN, (Bandung: MIzan, 2000), h. 58-60
[11] Dhiauddin Rais, TEORI POLITIK ISLAM, (Jakarta: Gema Insan, 2001), h. 46-49
[12] Dhiauddin Rais, TEORI POLITIK ISLAM, (Jakarta: Gema Insan, 2001), h. 240-241

Sabtu, 19 November 2011

‘Urf, Adat, Tradisi dan Kemampuan


BAB I
PENDAHULUAN




BAB II
PEMBAHASAN
‘Urf, Adat, Tradisi dan Kemampuan

A.    Pengertian ‘urf,
Secara bahasa ‘Urf berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan, isitilah ini sama dengan al-‘adah (kebiasaan/adat istiadat), contohnya adalah suatu masyarakat yang terbiasa melakukan transaksi jual beli tanpa melakukan ijab dan qobul secara lisan, sebagaimana yang telah ditetapkan para ulama bahwa ijab dna qobul merupakan rukun jual beli, akan tetapi karena kebiasaan yang dilakukan itu tak menyalahi aturan atau dengan kata lain tetap tak menghilangkan unsure keridhoan diantara kedua  belah pihak, maka hal tersebut tak menjadi masalah.[1] Walau jumhur ulama menyamaratakan antara adat dan ‘urf, namun sebagian fuqoha membedakan kedua istilah tersebut, mereka mendefinisikan adat:
Yang pertama:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya: “apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka baik pula di sisi Allah” (HR. Ahmad).
Sedangkan ‘urf adalah suatu perbuatan yang jiwa merasa tenang melakukannya karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera.[2]
                        Yang kedua urf adalah setiap hal yang telah dikenali dan dianggap pantas oleh manusia, dari hal-hal yang bernilai baik, yang dapat diterima keberadaannya oleh akal. Sedanngkan adat adalah hal yang terjadi berulang-ulang tanpa ada keterkaitan denga logika.
 Ketiga bahwa adat lebih umum dari ‘urf, karena adat merupakan sesuatu yang dilakukan oberulang-ulang baik oleh perseorangan atau kolektif, sedangkan ‘urf hanya terjadi jika semua atau sebagian orang melakukannya.
B.     Macam-macam ‘Urf
1.      Dilihat dari bentuknya:
a.       ‘urf qauli, yaitu ungkapan yang digunakan oleh komunitas untuk mengungkapkan makna tertentu, contoh orang Arab biasa menggunakan kata al-dabbah untuk hewan berkaki empat, padahal secara bahasa itu merupakan hewan yang berjalan merangkak.
b.      ‘urf amali, yaitu tindakan yang biasa dilakukan sekumpulan manusia dan lazim dikenal dalam keseharian. Contohnya kebiasaan akad jual beli tanpa ijab qabul yang sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. [3]
2.      Dari segi cakupannya:
a.       Al-‘Urf al-‘am, yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara umum di kalangan mayoritas di masyarakat beberapa negri dalam satu masa. Contohnya ungkapan “engkau telah haram aku gauli” menjadi kebiasaan di suatu masyarakat luas sebagai ungkapan menjatuhkan talaq.
b.      Al-‘Urf al-khash, yaitu adat kebiasaan khusus yang berlaku di masyarakat tertentu saja, misalnya masyarakat Irak yang hanya menerima catatan bukti pembayaran yang sah dari pihak penjual jika terjadi hutang-piutang

3.      Dari segi keabsahannya:
a.      Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contohnya seorang suami yang belum memmbayar mahar secara penuh kepada istrinya belum boleh membawa pindah dari rumah orang tuannya
b.      Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu adat kebiasaan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, misalnya menyajikan minuman kerasa dalam upacara tertentu, serta menghadirkan penari wanita yang seksi pada upacara tertentu yang dihadiri laki-laki.
4.      Dari segi objeknya:
a.       ‘Urf lafzhi (kebiasaan yang menyangkut perkataan), yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kata-kata tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, misalnya kata daging yang berlaku di masyarakat adalah daging sapi.
b.      ‘Urf al-‘amali (kebiasaan yang berupa perbuatan), yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan sehari-hari, contohnya jual beli tanpa akad (ijab Kabul) secara lisan yang berlaku di masyarakat, namun tidak menghilangkan unsure keridoan diantara kedua belah pihak.[4]

C.    Dasar-dasar nash kaidah
Madzhab yang terkenal menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah, Hanabilah dan Syafi’iyyah, namun Para ulama sepakat menolak ‘Urf fasid untuk dijadikan landasan hokum. Di antara para ulama ada yang berkata bahwa ‘Urf atau adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hokum, Imam Malik mendasarkan sebagian besar hokumnya pada perbuatan penduduk Madinah, Imam Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hokum dengan alasan perbedaan ‘Urf, Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagianpendapatnya tentang hokum yang telah dikeluarkannya di Baghdad karena alasan ‘Urf pula, dan Imam Hanafi banyak hokum-hukum yang ditentukan berdasarkan ‘Urf. [5]Landasan hokum yang dijadikan alasan menggunakan ‘urf adalah:
1.      Ayat Al-qur’an
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
Artinya: “ jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf: 199)
2.      Hadits Nabi
Yang artinya: “adat adalah suatu perbuatan yang terus menerus dilakukan manusia karena logis dan dilakukan secara terus menerus.
3.      Pada dasarnya syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-qu’an dan hadits, kedatngan Islam bukan menghapus sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Sebagai contoh sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah mengenal system kerjasama dalam perdagangan dengan cara membagi hasil keuntungan bersama, dan ketika Islam datang ternyata system yang digunakan pun tak jauh berbeda yaitu (mudhorobah).

D.    Syarat-syarat ‘urf untuk dijadikan landasan hukum
1.      ‘urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih, yang tidak bertentangan dengan ajaran al-quran dan hadits,
2.      ‘urf itu harus bersifat umum, yang telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negri tersebut.
3.      ‘urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang dipermasalahkan
4.      Tidak ada ketegasan dari kedua belah pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf, jika kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, buka ‘urf.
5.      ‘urf tidak bertentangan dengan nash  (al-qur’an dan hadits)
6.      Perbuatan yang dilakukan harus logis dan relevan dengan akal sehat (tidak maksiat)
7.      Perbuatan itu telah dilakukan  berulang-ulang dan mendarah daging pada masyarakat tertentu
8.      Tidak membawa mudhorot serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.[6]

E.     Kaidah yang berlaku bagi ‘urf
Ibnu Qoyyim al-jauziyyah mngemukakan pendapatnya bhawa tak dapat diingkari adanya perubahan hokum dengan seiringnya perubahan waktu dan tempat
تغير الأحكام بتغير الأزمان و الأمكنة
Maksdunya adalah bahwa hokum fiqih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, akan berubah hukumnya jika adat istiadat itu berubah, misalnya salah satu syarat saksi yang baik adalah yang miliki sifat adail, namun yang jadi permasalahan adalah criteria adil menurut adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat tentu berbeda-beda, seperti dalam suatu masyarakat ketika seseorang dengan kepala terbuka (tanpa penutup kepala) itu dipandang tidak muruah yang menrupakan syarat untuk menjadi adil, namun dalam masyarakat yang lain penutup kepala bukan syarat bahwa seseorang itu bersifat muruah yang juga sebagai syarat sifat adil.[7]

المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Artinya: “yang baik itu menjadi kebiasaan, sebagaimana yang disyaratkan menjadi syarat”

الثّابت بالعرف كالثّابت بالنّاصّ
Artinya: “yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melaui nash (al-qur’an dan hadits)”[8]
العادة محكمة
Artinya: “adat kebiasaan itu dapat ditetapkansebagai hukum” (as-suyuti) [9]
كل ما ورد به الشّرع مطلقا و لا ضابطله فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف
Artinya: “semua yang diatur oleh syara secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa maka semua itu dikembalikan kepada ‘urf” (Abdul Hamid Hamid)[10]


KESIMPULAN







DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. Ke-3
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, cet. Ke-1
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul FIqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Yahya, Mukhtar, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, Bandung: Al-Ma’arif, 1993.


[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 153.
[2] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), cet. Ke-4, h. 141
[3] Forum karya ilmiah, Kilas Balik Teoritis FIQH ISLAM, (Jawa Timur: PP LIrboyo Kota Kediri, 2004), cetakan ke-5, h. 216-217
[4] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), cet. Ke-1,  h. 139-141
[5] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.129-130
[6] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, …, h. 142
[7] Satria Effendi, Ushul Fiqh, …,  h.153-158
[8] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1,…, h. 143
[9] Mukhtar Yahya, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), h.111
[10] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, …, h. 142