BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
‘Urf, Adat, Tradisi dan Kemampuan
A. Pengertian ‘urf,
Secara bahasa ‘Urf berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat, sedangkan menurut istilah yaitu sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan, isitilah ini sama dengan al-‘adah (kebiasaan/adat istiadat), contohnya adalah suatu masyarakat yang terbiasa melakukan transaksi jual beli tanpa melakukan ijab dan qobul secara lisan, sebagaimana yang telah ditetapkan para ulama bahwa ijab dna qobul merupakan rukun jual beli, akan tetapi karena kebiasaan yang dilakukan itu tak menyalahi aturan atau dengan kata lain tetap tak menghilangkan unsure keridhoan diantara kedua belah pihak, maka hal tersebut tak menjadi masalah.[1] Walau jumhur ulama menyamaratakan antara adat dan ‘urf, namun sebagian fuqoha membedakan kedua istilah tersebut, mereka mendefinisikan adat:
Yang pertama:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya: “apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka baik pula di sisi Allah” (HR. Ahmad).
Sedangkan ‘urf adalah suatu perbuatan yang jiwa merasa tenang melakukannya karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera.[2]
Yang kedua urf adalah setiap hal yang telah dikenali dan dianggap pantas oleh manusia, dari hal-hal yang bernilai baik, yang dapat diterima keberadaannya oleh akal. Sedanngkan adat adalah hal yang terjadi berulang-ulang tanpa ada keterkaitan denga logika.
Ketiga bahwa adat lebih umum dari ‘urf, karena adat merupakan sesuatu yang dilakukan oberulang-ulang baik oleh perseorangan atau kolektif, sedangkan ‘urf hanya terjadi jika semua atau sebagian orang melakukannya.
B. Macam-macam ‘Urf
1. Dilihat dari bentuknya:
a. ‘urf qauli, yaitu ungkapan yang digunakan oleh komunitas untuk mengungkapkan makna tertentu, contoh orang Arab biasa menggunakan kata al-dabbah untuk hewan berkaki empat, padahal secara bahasa itu merupakan hewan yang berjalan merangkak.
b. ‘urf amali, yaitu tindakan yang biasa dilakukan sekumpulan manusia dan lazim dikenal dalam keseharian. Contohnya kebiasaan akad jual beli tanpa ijab qabul yang sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. [3]
2. Dari segi cakupannya:
a. Al-‘Urf al-‘am, yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara umum di kalangan mayoritas di masyarakat beberapa negri dalam satu masa. Contohnya ungkapan “engkau telah haram aku gauli” menjadi kebiasaan di suatu masyarakat luas sebagai ungkapan menjatuhkan talaq.
b. Al-‘Urf al-khash, yaitu adat kebiasaan khusus yang berlaku di masyarakat tertentu saja, misalnya masyarakat Irak yang hanya menerima catatan bukti pembayaran yang sah dari pihak penjual jika terjadi hutang-piutang
3. Dari segi keabsahannya:
a. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contohnya seorang suami yang belum memmbayar mahar secara penuh kepada istrinya belum boleh membawa pindah dari rumah orang tuannya
b. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu adat kebiasaan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, misalnya menyajikan minuman kerasa dalam upacara tertentu, serta menghadirkan penari wanita yang seksi pada upacara tertentu yang dihadiri laki-laki.
4. Dari segi objeknya:
a. ‘Urf lafzhi (kebiasaan yang menyangkut perkataan), yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kata-kata tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, misalnya kata daging yang berlaku di masyarakat adalah daging sapi.
b. ‘Urf al-‘amali (kebiasaan yang berupa perbuatan), yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan sehari-hari, contohnya jual beli tanpa akad (ijab Kabul) secara lisan yang berlaku di masyarakat, namun tidak menghilangkan unsure keridoan diantara kedua belah pihak.[4]
C. Dasar-dasar nash kaidah
Madzhab yang terkenal menggunakan ‘Urf sebagai landasan hokum adalah kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah, Hanabilah dan Syafi’iyyah, namun Para ulama sepakat menolak ‘Urf fasid untuk dijadikan landasan hokum. Di antara para ulama ada yang berkata bahwa ‘Urf atau adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hokum, Imam Malik mendasarkan sebagian besar hokumnya pada perbuatan penduduk Madinah, Imam Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hokum dengan alasan perbedaan ‘Urf, Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagianpendapatnya tentang hokum yang telah dikeluarkannya di Baghdad karena alasan ‘Urf pula, dan Imam Hanafi banyak hokum-hukum yang ditentukan berdasarkan ‘Urf. [5]Landasan hokum yang dijadikan alasan menggunakan ‘urf adalah:
1. Ayat Al-qur’an
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya: “ jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf: 199)
2. Hadits Nabi
Yang artinya: “adat adalah suatu perbuatan yang terus menerus dilakukan manusia karena logis dan dilakukan secara terus menerus.
3. Pada dasarnya syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-qu’an dan hadits, kedatngan Islam bukan menghapus sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Sebagai contoh sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah mengenal system kerjasama dalam perdagangan dengan cara membagi hasil keuntungan bersama, dan ketika Islam datang ternyata system yang digunakan pun tak jauh berbeda yaitu (mudhorobah).
D. Syarat-syarat ‘urf untuk dijadikan landasan hukum
1. ‘urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih, yang tidak bertentangan dengan ajaran al-quran dan hadits,
2. ‘urf itu harus bersifat umum, yang telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negri tersebut.
3. ‘urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang dipermasalahkan
4. Tidak ada ketegasan dari kedua belah pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf, jika kedua belah pihak telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, buka ‘urf.
5. ‘urf tidak bertentangan dengan nash (al-qur’an dan hadits)
6. Perbuatan yang dilakukan harus logis dan relevan dengan akal sehat (tidak maksiat)
7. Perbuatan itu telah dilakukan berulang-ulang dan mendarah daging pada masyarakat tertentu
E. Kaidah yang berlaku bagi ‘urf
Ibnu Qoyyim al-jauziyyah mngemukakan pendapatnya bhawa tak dapat diingkari adanya perubahan hokum dengan seiringnya perubahan waktu dan tempat
تغير الأحكام بتغير الأزمان و الأمكنة
Maksdunya adalah bahwa hokum fiqih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, akan berubah hukumnya jika adat istiadat itu berubah, misalnya salah satu syarat saksi yang baik adalah yang miliki sifat adail, namun yang jadi permasalahan adalah criteria adil menurut adat dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat tentu berbeda-beda, seperti dalam suatu masyarakat ketika seseorang dengan kepala terbuka (tanpa penutup kepala) itu dipandang tidak muruah yang menrupakan syarat untuk menjadi adil, namun dalam masyarakat yang lain penutup kepala bukan syarat bahwa seseorang itu bersifat muruah yang juga sebagai syarat sifat adil.[7]
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
Artinya: “yang baik itu menjadi kebiasaan, sebagaimana yang disyaratkan menjadi syarat”
الثّابت بالعرف كالثّابت بالنّاصّ
Artinya: “yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melaui nash (al-qur’an dan hadits)”[8]
العادة محكمة
Artinya: “adat kebiasaan itu dapat ditetapkansebagai hukum” (as-suyuti) [9]
كل ما ورد به الشّرع مطلقا و لا ضابطله فيه و لا فى اللغة يرجع فيه إلى العرف
Artinya: “semua yang diatur oleh syara secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa maka semua itu dikembalikan kepada ‘urf” (Abdul Hamid Hamid)[10]
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. Ke-3
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996, cet. Ke-1
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul FIqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Yahya, Mukhtar, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, Bandung: Al-Ma’arif, 1993.
[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 153.
[2] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), cet. Ke-4, h. 141
[3] Forum karya ilmiah, Kilas Balik Teoritis FIQH ISLAM, (Jawa Timur: PP LIrboyo Kota Kediri, 2004), cetakan ke-5, h. 216-217
[4] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), cet. Ke-1, h. 139-141
[5] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.129-130
[6] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, …, h. 142
[7] Satria Effendi, Ushul Fiqh, …, h.153-158
[8] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1,…, h. 143
[9] Mukhtar Yahya, DASAR-DASAR PEMBINAAN HUKUM FIQH-ISLAM, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), h.111
[10] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah USHULIYAH DAN FIQHIYAH, …, h. 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar