A. Obligasi
1. Pengertian obligasi
Obligasi adalah surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan, atau surat hutan berjangka (waktu) lebi dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan.
Surat perjanjian (pengakuan hutang) dari bank, perusahaan dan sejenisnya
kepada pemegangnya dengan waktu pelunasan tertentu pula, pada umumnya sesuai
dengan bunga yang ditetapkan dalam akad peminjaman antara perusahaan ,lembaga
pemerintahan, atau perorangan.
kepada pemegangnya dengan waktu pelunasan tertentu pula, pada umumnya sesuai
dengan bunga yang ditetapkan dalam akad peminjaman antara perusahaan ,lembaga
pemerintahan, atau perorangan.
Obligasi dipandang sebagai hutang perusahaan, maka perusahaan berhutang kepada pemilik obligasi tersebut. Obligasi memiliki masa jatuh tempo untuk pelunsan hutang,[1]
Obligasi adalah hutang / utang jangka panjang secara tertulis dalam kontrak surat obligasi yang dilakukan oleh pihak berhutang yang wajib membayar hutangnya disertai bunga (penerbit obligasi) dan pihak yang menerima pembayaran atau piutang yang dimilikinya beserta bunga (pemegang obligasi) [2]
Obligasi adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Obligasi secara ringkasnya adalah merupakan utang tetapi dalam bentuk sekuriti. "Penerbit" obligasi adalah merupakan sipeminjam atau debitur, sedangkan "pemegang" obligasi adalah merupakan pemberi pinjaman atau kreditur dan "kupon" obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini maka dimungkinkan bagi penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan investasi jangka panjangnya dengan sumber dana dari luar perusahaan.
2. Karakteristik Obligasi
a. Nilai obligasi (jumlah dana yang dipinjam)
Dalam penerbitan obligasi, maka perusahaan akan dengan jelas menyatakan jumlah dana yang dibutuhkan yang dikenal dengan istilah “jumlah emisi obligasi”. Penentuan besar kecilnya jumlah penerbitan obligasi berdasarkan aliran arus kas perusahaan, Kebutuhan, serta kinerja bisnis perusahaan.
b. Jangka waktu obligasi
Setiap obligasi mempunyai masa jatuh tempo atau berakhirnya masa pinjaman (maturity). Secara umum masa jatuh tempo obligasi adalah 5 tahun. Ada yang 1 tahun, adapula yang 10 tahun. Semakin pendek jangka waktu obligasi maka akan semakin diminati oleh investor, karena dianggap risikonya kecil.
c. Principal dan Coupon rat
Nilai prinsipal obligasi adalah sejumlah uang yang disetujui oleh penerbit obligasi agar dibayarkan kepada pemegang obligasi pada masa jatuh tempo. Jumlah ini biasa berhubungan dengan redemption value, maturity value, par value or face value. Coupon rate juga disebut nominal rate, adalah tingkat bunga yang disetujui penerbit untuk dibayar kepada pemegang obligasi setiap tahun. Besarnya pembayaran bunga setiap tahun
kepada pemilik obigasi selama jangka waktu obligasi dinamakan coupon.
Tingkat persentase coupon dikali nilai prinsipal obligasi menghasilkan besarnya coupon. Contohnya, obligasi dengan 8% coupon rate dan nilai par nya adalah $1,000 akan membayar bunga per tahun sebesar $80.
kepada pemilik obigasi selama jangka waktu obligasi dinamakan coupon.
Tingkat persentase coupon dikali nilai prinsipal obligasi menghasilkan besarnya coupon. Contohnya, obligasi dengan 8% coupon rate dan nilai par nya adalah $1,000 akan membayar bunga per tahun sebesar $80.
d. Jadwal pembayaran
Kewajiban pembayaran kupon obligasi oleh perusahaan penerbit, dilakukan secara berkala sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, bisa dilakukan triwulan, semesteran, atau tahunan.
e. Diterbitkan oleh perusahaan atau pemerintah.
3. Risiko-risiko dalam obligasi
a. Interest-Rate Risk
Harga dari sebuah obligasi akan berubah pada arah yang berlawanan dari perubahan tingkat bunga: Jika tingkat suku bunga naik, maka harga obligasi akan turun. Begitu pula sebaliknya, jika suku bunga turun maka harga obligasi akan naik. Jika seorang investor harus menjual obligasi sebelum jatuh tempo, peningkatan tingkat suku bunga bermakna bahwa investor akan mengalami capital loss (missal investor menjual obligasi dibawah harga beli). Risiko jenis ini dikenal dengan interest-rate risk atau market risk. Risiko ini merupakan risiko yang pada umumnya dialami oleh investor pada pasar obligasi.
b. Reinvestment Risk
Variabilitas pada tingkat reinvestment akibat adanya perubahan pada tingkat bunga pasar dinamakan reinvestment risk.
c. Call Risk
Sebagian perusahaan menetapkan untuk menarik atau membeli obligasi yang diterbitkannya pada harga dan waktu tertentu. Hal ini menyebabkan investor akan mengalami call risk dimana pada tanggal tertentu perusahaan penerbit obligasi akan menarik kembali obligasinya.
d. Default Risk
Default Risk juga berkaitan dengan risiko gagal bayar, artinya risiko penerbit obligasi yang mengalami kebangkrutan. Akibat adanya risiko ini, obligasi yang memiliki Default Risk dalam perdagangan di pasar obligasi mempunyai harga yang rendah dibandingkan dengan U.S Treaasury securities. Dilain pihak, obligasi ini dalam perdagangan di pasar obligasi memiliki yield yang lebih besar dari treasury bond.
e. Inflation Risk
Peningkatan Inflation risk atau purchasing power risk disebabkan oleh bervariasinya nilai aliran kas yang diterima oleh investor akibat dampak adanya security due inflasi. Contohnya jika investor membeli obligasi pada coupon rate sebesar 7%, tetapi tingkat inflasi adalah 8%, maka purchasing power aliran kas secara nyata akan dikurangi.
f. Exchange-Rate Risk
Obigasi yang diperdagangkan denominasi valuta asing, memiliki nilai yang tidak dapat diketahui dengan pasti. Nilai obligasi dalam mata uang lokal baru dapat diketahui ketika pembayaran kupon atau nilai pokok pinjaman terjadi.
g. Liquidity Risk
Liquidity atau marketable risk bergantung pada kemudahan suatu obligasi untuk dijual kembali sebesar nilai obligasinya.
h. Volatility Ris
Harga suatu jenis obligasi tertentu bergantung pada tingkat suku bunga dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi nilai obligasi tersebut. Perubahan pada faktor-faktor tersebut berpengaruh pada harga obligasi. Risiko jenis ini dikenal dengan volatility risk. [3]
4. Hokum obligasi
obligasi hakekatnya adalah peminjaman dengan membuahkan penghasilan atau bunga, karena obligasi adalah hutang perusahaan kepada pemilik obligasi yang berhak (sebagaimana perjanjian) untuk mendapatkan hasil tertentu dari pinjaman itu secara tahunan baik perusahaan itu untung atau rugi, maka dengan demikian ia masuk dalam lingkup
transaksi riba, oleh sebab itu terbitnya obligasi sejak awalnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka jual belinya tidak boleh secara syari’at dan bagi pemilik obligasi ini tidak boleh menjualnya.
transaksi riba, oleh sebab itu terbitnya obligasi sejak awalnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka jual belinya tidak boleh secara syari’at dan bagi pemilik obligasi ini tidak boleh menjualnya.
menjual hutang dan itu dibolehkan jika menjualnya kepada orang yang berhutang dengan syarat harus menerima gantinya di majlis (jual-beli) itu, dengan dasar hadits Ibnu Umar : Dulu saya menjual Unta di Baqi’ dengan uang dinar (uang dari emas), kemudian kami mengambil gantinya berupa dirham (uang dari perak), kemudian aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam maka beliau menjawab: “Tidak mengapa jika kalian
berpisah dalam keadaan tidak ada sesuatu diantara keduanya” (HR. Abu Dawud, Nailul Authar 5/157)
berpisah dalam keadaan tidak ada sesuatu diantara keduanya” (HR. Abu Dawud, Nailul Authar 5/157)
Adapun jika dijual kepada selain yang berhutang, maka pendapat yang kuat juga
dibolehkan jika dijual dengan selain uang seperti beras, gandum atau mobil. Adapun jika dijual dengan uang maka tidak sah karena hakekatnya adalah menjual uang secara kontan dengan uang yang kredit padahal syarat sahnya penjualan seperti itu adalah harus saling menerima (taqabuth) uang pada satu majlis jika jenis uangnya atau mata uangnya berbeda dan jika satu mata uang maka ditambah syarat yang lain yaitu harus sama nilainya, maka obligasi itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih rendah, jika dengan harga yang berbeda maka terjatuh dalam riba fadl dan nasi’ah.[4]
dibolehkan jika dijual dengan selain uang seperti beras, gandum atau mobil. Adapun jika dijual dengan uang maka tidak sah karena hakekatnya adalah menjual uang secara kontan dengan uang yang kredit padahal syarat sahnya penjualan seperti itu adalah harus saling menerima (taqabuth) uang pada satu majlis jika jenis uangnya atau mata uangnya berbeda dan jika satu mata uang maka ditambah syarat yang lain yaitu harus sama nilainya, maka obligasi itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih rendah, jika dengan harga yang berbeda maka terjatuh dalam riba fadl dan nasi’ah.[4]
B. Valuta Asing
1. pengertian
Valuta asing adalah nilai uang, alat pembayaran luar negri yang dijamin oleh cadangan emas atau perak yang ada di bank pemerintah.
Yang dimaksud dengan valuta asing adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa.
Jual beli mata uang dalam fiqih kontemporer disebut dengan istilah tijarah an-naqd atau al-ittijaar bi al-‘umlat. Dalam kitab-kitab fiqih disebut al-sharf (pertukaran uang, currency exchange). Definisi al-sharf menurut Abdurrahman al-Maliki adalah pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dengan kuantitas yang sama ataupun tidak sama. Karena mata uang sekarang dianggap sama dengan emas dan perak, maka Rawwas Qa’ahjie mendefinisikannya secara umum, yaitu pertukaran uang dengan uang.[5]
2. Hokum
Berdasarkan Fatwa MUI: Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
3. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
a. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
b. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
d. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).[6]
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
4. Transaksi Valas Dalam Hukum Islam
a. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima
· Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
· Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
· Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
b. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
· Suci barangnya (bukan najis)
· Dapat dimanfaatkan
· Dapat diserahterimakan
· Jelas barang dan harganya
· Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
Jual beli dirham dengan dirham merupakan hal yang diharamkan, karena itu termasuk riba yang diharamkan oleh Al-qur’an, Hadits dan ijma’, dan karena dia menjual bukan apa yang ia miliki.[7]
Jual beli mata uang hukumnya boleh, dengan syarat:
a. Jika sama jenis (misalnya Rupiah dengan Rupiah), maka harus ada kesamaan kuantitas, yakni harus sama nilainya, contoh, jika 1 lembar uang kertas Rp. 5.000, harus pula ditukar dengan 5 lembar Rp. 1.000 atau 50 keping uang Rp. 100, dan harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, Jadi harus kontan dan tak boleh ada penundaan serah terima.
b. Jika beda jenis (Dolar dengan Rupiah), tetap harus dilakukan secara tunai (tidak boleh hutang), akan tetapi boleh dilakukan penambahan di salah satu pihak, sebab adanya perbedaan jenis, karena masing-masing negara punya standar sendiri untuk itu. Contoh $ 5, boleh ditukar dengan Rp. 50.000, sebab adanya perbedaan jenis dan kualitas harga serta nilai jualnya.
c. Harus dilakukan secara tunai, dalam satu tempat dan satu waktu. Lain halnya dengan jual beli barang yang ditukar dengan uang yang boleh dilakukan secara tidak tunai (hutang), seperti jual beli salam (pesanan).
Sebagaimana hadits Nabi yang artinya: “janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama banyaknya. Jangan pula melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Jangan pula menjuak perak dengan perak, kecuali sama banyak, serta jangan melebihkan sebagian dengan sebagian yang lainnya. Dan janganlah kalian menjualnya dengan cara sebagian diyangguhkan sedangkan yang sebagian lagi secara tunai”[8]
[1]http://ita081325537150.wordpress.com/2009/09/08/hukum-jual-beli-saham-dan-obligasi-dalam-pandangan-islam/
[2] http://organisasi.org/definisi-pengertian-obligasi-surat-hutang-dan-nilai-rangking-obligasi-investasi-keuangan
[3] http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/obligasi-pengertian-karakteristik-dan.html
[4][ Sumber : Ar Riba Wal Mu'amalat Al Mashrafiyah, Karya Syaikh Dr. Umar bin
Abdul Aziz Al Mutrak, hal 369-375 ]
Abdul Aziz Al Mutrak, hal 369-375 ]
[5] . (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 114 & 125
[6] http://bisnisramai.blogspot.com/2011/11/hukum-forex-dalam-islam.html
[7] Ahmad bin Abdurrazzaq ad-duwaisy, Fatwa-Fatwa JUAL BELI, (Bogor: Pustaka Imam Asy-syafi’i, 2005), h. 353
[8] Ahmad bin Abdurrazzaq ad-duwaisy, Fatwa-Fatwa JUAL BELI, (Bogor: Pustaka Imam Asy-syafi’i, 2005), h. 480