Senin, 09 Januari 2012

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما

A.    Arti Kaidah

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما

Artinya: “Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”
Misalnya:
1.      Memasuki rumah atau memakai pakaian milik orang lain tanpa izin yang memilikinya dilarang (haram), karena tidak ada kerelaan dari pemiliknya, tetapi jika pemiliknya mengetahui dan terus member kerelaannya,, maka hal itu hukumnya diperbolehkan.
2.      Keharaman khamar itu lantaran terdapat zat yang memabukkan, tetapikalau zat yang memabukkan itu sudah hilang dengan sendirinya (misalnya khamar itu sudah berubah menjadi cuka) maka dihalalkannya.
Para Ushuliyun membedakan pengertian hikmah dengan illat. Hikmah adalah sesuatu yang masih berupa perkiraan dan belum positif, karena sifatnya demikian, maka hikmah tidak dapat untuk membina hokum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hokum. Sedangkan illat adalah sesuatu yang sudah jelas dan positif yang dapat dipergunakan membina hokum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hokum.
Misalnya:
1.      Mengqasar shalat bagi orang yang dalam keadaan berpergian hikmahnya ialah memberi keringanan dan menolak kesulitan. Hikmah semacam ini masih merupakan perkiraan yang belum positif, karena dapat diterapkan kepada setiap orang yang berbeda situasi dan kondisinya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa shalat dengan sempurna di dalam perjalanan itu tidak menyulitkan menurut suatu situasi dan kondisi tertentu dan menurut situasi dan kondisi yang lain akan terasa berat sekali. Sedangkan illat hukumnya adalah  berpergian, ini merupakan perkara yang sudah jelas dan positif.
2.      Hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan) bagi anggota serikat atau etangga hikmahnya ialah untuk menolak gangguan (kemudharatan) bagi anggota serikat atau tetangga itu, sebab tidak mustahil sekiranya mereka tidak diutamakan hak belinya, maka pekarangan yang dijual tersebut dibeli oleh orang asing baginya, karena sehingga ketenangan teganggu, sedangkan illat syufi’ah ialah karena keanggotaan serikat atau pertetanggannya.
Dengan adanya perbedaan yang jelas antara hikmah dan illat para usuliyin melengkapkan kaidah tersebut di atas dengan:

ان الاحكام الشرعية تدور وجودا وعدما مع علتها لا مع حكمها

Artinya: “Bahwa hokum-hukum syariah itu berputar antara ada dan ketiadaannya bersama dengan illatnya, bukan bersama dengan hikmahnya”
Contoh-contoh:
1.      Barang siapa yang dalam bulan Romadhon bepergian dibolehkan tidak berpuasa, karena illatnya dibolehkannya adalah bepergian, biarpun di dalam bepergian itu ia tidak mengalami kesulitan sedikitpun, jika seandainya berpuasa. Tetapi jika illatnya yang dijadikan membina hokum, maka ia tidak boleh meninggalkan puasa kalau tidak ada kesulitan sama sekali.
2.      Seorang yang menjadi anggota serikat dengan orang lain atas tanah pekarangan atau menjadi tetangganya mempunyai hak syuf’ah karena illatnya adalah keanggotaan serikat atau pertetanggaannya. Sekalipun ia tidak khawatir sedikitpun akan adanya gangguan ketenangan dari pembeli yang masih asing baginya. Akan tetapi, kalau hikmhanya yang dijadikan membina hokum dan mengadakan hokum, niscaya dengan tiadanya kekhawatiran akan gangguan ketenangan seorang anggota serikat atau tetangga tidak membpunyai hak syuf’ah.
3.      Orang yang sakit diperkenankan tidak berpuasa pada bulan Romadhon illatnya karena sakit. Sedang hikmah diperbolehkannya adalah untuk menolak kesulitan. Sesuai dengan kaidah yang terakhir, orang yang sakit diperkenankan tidak berpuasa pada bulan Romadhon, baik ia akan mengalami kesulitan atau tidak. Sebaliknya orang yang mengalami kesulitan tidak tentu diperbolehkan tidak berpuasa, jika tidak di dalam keadaan sakit. [1]

B.     Pengertian illat
Illat adalah rukun atau unsur terpenting dalam menentukan hukum, yang tidak dibahasa secara explisit di dalam nash, dan merupakan sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hokum.
Illat adalah sebab-karena, yaitu yang menyebabkan tetapnya suatu hokum, dengan adanya sebab atau illat itu, maka adanya hokum, dan sebaliknya dengan tidak adanya sebab atau illat, maka tidak pula ada hokum. Illat memiliki beberapa nama lain, seperti: tanda, yang memanggil, yang menuntut, yang membangkitkan, yang menghendaki, yang mewajibkan, dan yang member bekas.

C.    Bentuk-bentuk illat
Ada beberapa bentuk sifat yang memungkinkan menjadi illat bagi hokum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah:
1.      Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kebiasaan atau lainnya, contoh sifat memabukkan pada khamar.
2.      Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera, contoh: pembunuhan yang menjadi sebab terhindarnya seseorang dari hak waris,
3.      Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersamam,contoh: buruk dan baik
4.      Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam arti bahasa, contohnya diharamkan nabiz karena mengandung khamar.
5.      Sifat syar’I, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hokum syar’I dijadikan alasan untuk menetapkan suatu hokum.
6.      Sifat murokkab,yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum.

D.    Syarat-syarat illat
                        1.            Hendaknya illat memberi bekas pada penetapan hokum, bahwa hokum yang sedang ditetapkan hanya dapat ditetapkan dengan illat tersebut, bukan dengan illat yang lain.
                        2.            Bekas tersebut hendaknya mengandung kalimat yang dimaksud oleh syari’ (Allah dan Rasul).
                        3.            Hendaknya illat itu zhahir dan nyata, bukan sembunyi.
                        4.            Tidak menyalahi nash atau ijma yang telah ada, sebab penggunaan nash dan ijma lebih diutamakan ketimbang qiyas.
                        5.            Jangan ada suatu illat diawali oleh illat lain yang lebih kuat.
                        6.            Hendaklah ia muth-tharid, yaitu setiap diperoleh illat, pasti diperoleh pula hukumnya.
                        7.            Hukum tidak akan diperolehkarena ketiadaan illat
                        8.            Sifat illat hendaknya dapat diterima
                        9.            Hendaknya illat itu ditetapkan dengan nash atau dengan ijma
                    10.            Hendaknya hokum pada furu yang ditetapkan illat tersebut, tidak bertentangan dengan hokum pada ashal.
                    11.            Hendaknya illat itu ditetapkan kepada hokum syara, bukan akal atau adat.
                    12.            Hukum tidak boleh berstatus wujud, sedang illat tidak wujud.[2]

E.     Jalan illat
Para ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah jalan yang menunjukkan illat, Ar-razi mengatakan dalam kitab A-manshul, bahwa jalan itu ada 10 perkara, sedangkan menurut pengarang UShulul manshul ada 11, yaitu:
1.      Al-ijma, untuk menunjukkan illat tertentu dan untuk menunjukkan asal illat
2.      Nash atas illat, yaitu segala yang ditunjukkan oleh nash hendaknya nyata atas illat.
3.      Isyarat dan peringatan kepada illat,.
4.      Mengambil dalil akan illat hokum itu dari perbuatan Nabi SAW, contoh illat lupa untuk menentukan hokum sujud sahwi.
5.      Percobaan (ikhtibar), untuk mengetahui ada atau tidaknya kemudhorotan.
6.      Mashlahat, yaitu memelihara maksud-maksud syara’ yang enam:
a.       Memelihara jiwa (diri)
b.      Memelihara harta
c.       Memelihara keturunan
d.      Memelihara agama
e.       Memelihara akal
f.       Memelihara kehormatan diri manusia.
7.      Syabah, yairu mengambil dalil dengan sesuatu atas barang yang menyerupainya.
8.      Ath-tharad, yaitu beserta hokum bagi sifat, padahal tidak ada sama sekali munasabahnya
9.      Ad-dauran (beredar), yaitu diperoleh hokum tatkala ada sifat, dan terangkat hokum karena terangkat sifat.
10.  Tanqihul manath, yaitu pembersihan tempat menggantungkan illat. Maksudnya menghubungkan furu dengan asal, dan membuang perbedaan.
11.  Tahqiqul manath, yaitu terjadi kesepakatan atas keadaan sifat itu menjadi illat dengan nash atau ijma’.[3]

F.     Korelasi antara illat dan hokum
Telah diterangkan bahwa syarat illat bahwa harus ada korelasi yang sesuai antara hokum dengan sifat yang dinilai sebagai illat.
1.      Korelasi yang bersifat mengikat
Yaitu hubungan antara sifat dengan hokum yang ditentukan oleh syari’, bahwa sifat itu dinyatakan sebagai illat dalam ketentuan hokum, sebagai contoh sifat memabukkan dalam khamar.
2.      Korelasi sesuai
Ialah suatu hubungan hokum illat yang tidak mendapatkan pengukuhan langsung dari Allah sebagai illat hokum, tetapi ada petunjuk dari nash atau ijma yang menganggap illat hokum itu sebagai penentu dari hokum sejenis atau menganggap kesamaan jenis sifat sebagai illat suatu ketetapan hokum yang sama, atau menganggap kesamaan jenis sebagai sifat illat bagi hokum sejenis.
3.      Korelasi yang lepas
Ialah hubungan antara hokum illat yang tidak mendapatkan pengukuhan dari Allah atau RasulNya, baik pengukuhan langsung atau tidak. [4]

G.    Perbedaan pendapat para ulama mengenai hubungan illat dengan hokum
1.      Ahlul Haq dari kelompok ulama Syiah mengatakan bahwa illat adalah pemberi tahu bagi hukum, sebagai contoh: sifat memabukkan menjadi illat bagi haramnya khamar, berarti memberi tahu atau menandakan keharaman bagi minuman yang juga memabukkan lainnya.
2.      Ulama Hanafi mengatakan bahwa illat itu memang pemberi tahu akan adanya hokum, namun yang menetapkan hokum adalah nash itu sendiri, atau dengan kata lain tetap nash lah yang menjadi sebab timbulnya hukum.
3.      Ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa illat itu adalah sesuatu yang dengan sendirinya mempengaruhi terhadap hokum yang didasarkan kepada pandangan bahwa hokum itu mengikuti maslahat dan mafsadat. Bila ada sesuatu yang mengandung maslahat, muncullah keharusan berbuat dan bila sesuatu itu mengandung mafsadat, muncullah keharusan untuk menjauhinya.
4.      Imam Al-Ghazali hamper sama dengan pendapat mu’tazilah dalam melihat illat itu sebagai faktor yang mempengaruhi keberadaan hokum, namun pengaruh illat terhadap hokum itu tidak berlaku dengan sendirinya, tetapi karena ada izin Allah, maksudnya Allah-lah yang menjadikan illat itu berpengaruh terhadap hokum.
5.      Al-Amidi berpendapat bahwa illat itu adalah pendorong terhadap hokum, maksudnya illat itu mengandung hikmah yang pantas menjadi tujuan bagi pembuat hokum dalam menetapkan hokum.[5]
6.      Golongan pertama (madzhab hanafiyah dan jumhur ulama ushul) berpendapat bahwa nash-nash hokum pasti memiliki illat, selanjutnya mereka mengatakan “sesungguhnya sumber hukum asal adalah illat hokum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
7.      Golongan kedua menyatakan bahwa sebaliknya, bahwa nash-nash hokum itu tidak berillat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya illat.
8.      Golongan ketiga (Malikiyah dan hanabilah), dengan tokohnya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim, berpendapa bahwa tidak adanya illat hukum.[6]

H.    Fungsi Illat
Pada dasarnya setiap illat menimbulkan hukum, antara illat dan hokum mempunyai kaitan yang erat, dalam kaitan itulah terlihat fungsi tertentu dari illat, yaitu:
1.      Penyebab/penetap, yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hokum merupakan penyebab atau penetap adanya hokum, contoh illat memabukkan menyebabkan berlakunya hokum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan.
2.      Penolak, yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hokum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hokum itu seandainya illat tersebut terdapat pada suatu hokum yang sedang berlaku.
3.      Pencabut, yaitu illat yang mencabu kelangsungan suatu hokum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum.
4.      Penolak dan pencabut, yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu berlangsung.[7]

I.       Masalik al-illat
Masalik al-illat adalah cara atau metode untuk mengetahui illat dalam suatu hokum atau hal-hal yang member petunjuk kepada kita adanya illat dalam suatu hokum, ada beberapa cara untuk mengetahui illat itu, yaitu:
1.      Nash
Penetapan nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan illat, buka berarti bahwa illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafadzh-lafadzh yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya illa
2.      Ijma
Ijma sebagai salah satu masalik berarti ijma itu menjelaskan illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash, umpamanya hadits shahihaini yang artinya: “janganlah seseorang menghakimi antara dua orang dalam keadaan marah”.
Ijma menetapkan bahwa illat rtidak sahnya hakim menghadapi perkara dalam waku marah “marah”, karena dapat menggangu pikiran.
3.      Al-ima’wa al-tanbih
Yaitu pennyertaan sifat dalam hokum, seandainya penyertaan itu bukan untuk menunjukkan keillatan suatu sifat bagi hukum, tentu penyertaan itu menjadi tidak berarti.
4.      Sabru wa taqsin
Memperhitungkan dan menyingkirkan, yaitu meneliti kemungkinan sifat yang tidak pantas menjadi illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi illat.
5.      Takhrijul manath
Yaitu usaha menyatakan illat dengan cara mengemukakan adanya keserasian sifat dan hokum yang beriringan serta terhindar dari suatu yang mencacatkna.
6.      Tanqihul manath
Yaitu menetapkan suatu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi illat hokum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya.
7.      Thard
Yaitu penyertaan hokum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang berarti, memang dalam penyebutan hokum itu disebutkan pula sifatnya, namun antara hokum dengan sifat itu tidak ada kaitannya sama sekali.
8.      Syabah, Yaitu sifat yang memiliki kesamaan.
9.      Dawran
Yaitu sirkulasi, atau hukum yang swaktu bertemu sifat dan tidak terdapat hokum sewaktu tidak ditemukan sifat, hal ini menunjukkan bahwa sifat yang selalu mengikuti hokum itu adalah illatnya.
10.  Ilghau al-fariq
Yaitu adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaan.[8]

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Abdul Karim, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)
Biek, Syaikh Muhammad Al-khudhari, USHUL FIKIH, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
Mukhtar,Yahya, Dasar-dasar pembinaan hukum fiqih-islami, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), cet. 3
Syarifuddin, Amir, USHUL FIQH JILID 1, (Jakarta: Logos, 1997)
Zahrah, Muhammad Abu, USHUL FIQIH, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ke-6



[1] Yahya Mukhtar, Dasar-dasar pembinaan hokum fiqih-islami, (Bandung: Al-Ma’rif, 1993), cet. 3, h. 550-552
[2] Syaikh Muhammad Al-khudhari Biek, USHUL FIKIH, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 700
[3] Abdul Karim Amrullah, Pengantar Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 106-117
[4] Muhammad Abu Zahrah, USHUL FIQIH, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ke-6, h.372-373
[5] Amir Syarifuddin, USHUL FIQH JILID 1, (Jakarta: Logos, 1997), h.172-173
[6] Muhammad Abu Zahrah, USHUL FIQIH, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. ke-6, h.365
[7] Amir Syarifuddin, …, h. 174
[8] Amir Syarifuddin,…, h.190-200

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum terima kasih mohon izin untuk digunakan atau apa saja wassalam

    BalasHapus