Senin, 09 Januari 2012

Kedudukan Wali dan Saksi dalam Pernikahan



BAB I
PENDAHULUAN

             Manusia merupakan makhluk sosial, artinya ia tak kan pernah bisa dan mampu untuk hidup sendiri di alam dunia ini, sehingga tak heran jika setiap manusia pada dasarnya membutuhkan orang lain untuk sekedar menjadi teman bicara, berkeluh kesah, memberikan motivasi disaat rapuh, dan guna memenuhi kebutuhan lainnya. Yang dimaksud orang lain disini adalah orang selain dirinya yang berada di lingkungan sekitarnya tempat dia hidup, baik yang sifatnya sementara maupun selamanya, yang dapat menemani sepanjang hidupnya.
             Maka pernikahan menjadi satu solusi terbaik yang ditawarkan kepada manusia agar rasa kebutuhan tersebut bisa terpenuhi dengan baik, tanpa harus ada yang melanggar hak orang lain, yang dalam hal ini Islam telah mengaturnya sedemikian rupa, agar tercipta kehidupan yang teratur, tentram, damai, serta penuh cinta dan kasih sayang. Namun dibalik kesakralannya, terdapat sekelumit permasalahan yang sifatnya mendasar, yang sampai saat ini masih hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat, terlebih di kalangan umat muslim, mengingat bahwa banyak terdapat perbedaan pendapat seputar pernikahan tersebut, contohnya adalah kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan yang memang tak secara qoth’i ditetapkan di dalam nash (al-qur’an dan hadits), sehingga banyak perbedaan interpreatsi terhadapnya.
            Oleh karena itu penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana pandangan ulama mengenai kedudukan kedua hal tersebut dalam pernikahan, serta dalil yang digunakan untuk memperkuat argument-argumennya. Dan untuk lebih jelasnya mari sama-sama kita cermati pada bab selanjutnya.



BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan Wali dan Saksi dalam Pernikahan

A.    Pengertian Wali
Wali memiliki banyak arti, diantaranya:
1.      Orang yang menurut hokum (adat, agama) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum mereka dewasa.
2.      Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan (akad nikah berlangsung).
3.      Orang saleh (suci) penyebar agama, dan
4.      Kepala pemerintah. [1]
Namun yang dimaksud dalam pembahasan kali ini adalah pengertian wali sebagai Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan (akad nikah berlangsung), atau yang berhak mengakadkan perkawinan, istilah ini biasa disebut wali mujbir. Urutan orang berhak menjadi wali mujbir adalah:
1.      Bapak
2.      Kakek (bapak dari bapak)
3.      Saudara laki-laki kandung
4.      Saudara laki-laki sebapak
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan)
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (keponakan)
7.      Saudara laki-laki bapak (paman)
8.      Anak laki-laki paman (sepupu)
9.      Hakim.

B.     Syarat Wali
Menurut jumhur ulama, orang yang menjadi wali hendaknya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu agar perwaliannya itu dipandang sah menurut agama, syaratnya adalah:
1.      Islam
2.      Baligh (kurang lebih 15 tahun)
3.      Berakal
4.      Laki-laki
5.      Adil.
6.      Merdeka, dan
7.      Seagama

C.    Kedudukan wali dalam nikah
                  1.            Kedudukan wali dalam nikah
a.       Pendapat jumhur ulama termasuk Imam Syafi’i dan Maliki, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak sha, alasannya adalah;
عن أبى موسى الأشعار قال رسول الله ص م لا نكاح إلاّ بوليّ
Artinya: “dari Abi Musa al-asy’ari berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada pernikahan kecuali dengan wali”.

b.      Pendapat Imam Hanafi, bahwa pernikahan wanita gadis atau janda hukumnya sah walau tanpa izin dari wali, alasannya adalah:
                               I.            Al-qur’an
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 ÇËÌÉÈ  
Artinya: kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Al-baqarah: 230)
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&  ÇËÌËÈ  
Artinya: “apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”. (Al-baqarah: 232)

Kata kerja xÅ3Ys? dan  `ósÅ3Ztƒ yang artinya menikahi, sama-sama memiliki fa’il (subjek) yaitu perempuan (bekas istri), sebab itu merupakan isnad haqiqi (sandaran yang benar) yang semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya yaitu (perempuan dalam kedua ayat tersebut).

Dari kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita memiliki hak atas dirinya sendiri, termasuk dalam hal akad nikah, mereka tak perlu meminta  izin atau menggantungkan segalanya kepada wali, sebab mereka punya hak atas dirinya sendiri.
                            II.            Al-hadits
Yang artinya: “dari Ummu salamah meriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah meminangnya, ia berkata: tidak seorangpun diantara wali-wali ku hadir. Maka Rasul bersabda: tidak seorangpun walimu yang hadir maupun yang tidak hadir menolak perkawinan kita”.
c.       Pendapat Imam Ahmad bin Hambal, bahwa sah tidaknya nikah tergantung kepada izin atau restu wali, alasannya adalah sebuah hadits, yang artinya: “dari Aisyah R.A. berkata: Rasulullah SAW bersabda: tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (3x), jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar mitsil karena dianggap halal menyetubuhinya. Sebab jika mereka berselisih maka sulthan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”.

d.      Pendapat Daud Az-zhahiry, bahwa nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah janda adalah sah, namun untuk wanita gadis hukumnya tidak sah, alasannya adalah sebuah hadits, yang artinya: “ janda lebih berhak terhadap dirinya ketimbang walinya, sedangkan gadis diminta izinnya mengenai dirinya, dan izinnya itu terdapat pada diamnya”
D.    Faktor penyebab perbedaan pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan:
                  1.            Tidak adanya ketegasan di dalam Al-qur’an mengenai sah atau tidaknya jika melakukan akad nikah tanpa wali.
                  2.            Tidak terdapat satu pun hadits mutawatir dan hadits ahad yang disepakati keshahihannya, yang menetapkan secara qoth’i tentang sah atau tidaknya akad nikah tanpa wali.
                  3.            Perbedaan penggunaan sumber hokum dalam menetapkan hokum, terutama dalam penggunaan qiyas dan hadits ahad, Imam hanafi mengutamakan qiyas ketimbang hadits ahad, sedangkan Imam Syafi’I mengutamakan hadits ahad.
                  4.            Adanya perbedaan pengertian terhadap suatu lafadz yang memiliki pengertian lebih dari satu.

E.     Kedudukan dua saksi dalam nikah
1.      Menurut jumhur ulama, nikah tanpa adanya saksi dipandang tidak sah, alasannya adalah:
لا نكاح إلاّ بوليّ و شاهدى عدلٍ
Artinya: “tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil”
البغايا اللاتى ينكحن أنفسهنّ بغير بيّنة
Artinya: “perempuan tuna-susila adalah yang menikahi dirinya sendiri tanpa keterangan (pembuktian)”
2.      Imam Malik dan Ibnnu Hazm berpendapat bahwa saksi menentukan sah atau tidaknya aqad nikah, namun diantara mereka terdapat perbedaan,menurut Ibnu Hazm pernikahan tetap sah jika saksi tersebut tidak memberitahukan kepada halayak ramai (tetap merahasiakan), sedangkan menurut Imam Malik pernikahan itu menjadi batal jika saksi tersebut merahasiakannya dari halayak ramai.

F.     Syarat-syarat menjadi saksi
1.       Dua orang Laki-laki, akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai hal ini:
a.       Menurut Imam syafi’i dan imam Ahmad mengatakan bahwa saksi disyarartkan haruslah laki-laki semuanya
b.      Menurut Imam Hanafi dan madzhab Zaidiah mengatakan bahwa saksi boleh satu laki-laki ditambah dua orang perempuan.
c.       Dan menurut pendapat lain bahwa dua orang laki-laki tersebut bisa digantikan kedudukannya dengan empat orang wanita.
2.      Adil, menurut Imam Syafi’i adil merupakan syarat sah saksi, sedangkan menurut imam Hanafi, seorang saksi tidaklah harus adil dan bukan yang menentukan sah atau tidaknya persaksian.
3.      Harus tidak ada hubungan kekeluargaan atau permusuhan.
Menurut imam Ahmad tidak sah jika persaksian dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau permusuhan, akna tetapi menurut imam Hanafi dan madzhab Zaidiah, sah jika persaksian dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau permusuhan.[2]



















DAFTAR PUSTAKA

Hosen, Ibrahim, FIQH PERBANDINGAN DALAM MASALAH NIKAH-THALAQ-RUDJUK DAN HUKUM KEWARISAN jilid 1, (Jakarta: Balai Penertbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘ulmiddin Indonesia, 1971), cet. Ke-1.
Sabiq, Al-sayyid, Fiqih Sunah, (Beirut: Daar Al-fikr, 1983), cet. Ke-4.



[1] Al-sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, (Beirut: Daar Al-fikr, 1983), cet. Ke-4, h. 31.
[2] Ibrahim Hosen, FIQH PERBANDINGAN DALAM MASALAH NIKAH-THALAQ-RUDJUK DAN HUKUM KEWARISAN jilid 1, (Jakarta: Balai Penertbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘ulmiddin Indonesia, 1971), cet. Ke-1, h. 177-185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar