A. Frustasi (Tekanan Perasaan)
1. Pengertian
Frustrasi berasal dari bahasa Latin, yaitu frustration yang berarti perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stress. Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh.
Dalam referensi lain diterangkan bahwa, frustasi ialah suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Sebagai contoh, anak kecil pun sering merasa tertekan ketika harus dipaksa untuk melakukan sesuatu oleh orang tuanya, seperti makan, tidur, buang air dan sebagainya, yang harus dilakukan pada waktu dan tempat tertentu. Semuanya itu merupakan halangan bagi terpenuhinya keinginan anak untuk melakukan hal tersebut diatas dengan kehendak pribadinya.
Pada dasarnya setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk segera dipenuhi, namun ada kalanya kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena adanya halangan tertentu. Orang yang sehat mentalnya akan dapat menunda pemuasan kebutuhannya untuk sementara atau ia dapat menerima frustasi itu untuk sementara, sambil menunggu adanya kesempatan yang memungkinkan mencapai keinginannya itu. Tetapi jika orang itu tidak mampu menghadapi frustasi dengan cara yang wajar maka ia akan berusaha mengatasinya dengan cara-cara yang lain tanpa mengindahkan orang dan keadaan sekitarnya (misalnya dengan kekerasan) atau ia akan berusaha mencari kepuasan dalam khayalan. apabila rasa tertekan itu sangat berat sehingga tidak dapat diatasinya mungkin akan mengakibatkan gangguan jiwa pada orang tersebut.
Sebenarnya pengaruh itu, bukanlah dari factor frustasi itu sendiri, akan tetapi bergantung kepada cara orang memandang factor itu, apakah ditanggapi dengan perasaan terbebani dan tertekan, ataukah biasa-biasa saja. Jadi furtasi itu adalah disebabkan oleh tanggapan terhadap situasi, yang dipengaruhi oleh kepercayaan diri sendiri dan kepercayaan kepada lingkungan.
Frustasi adalah satu keadaan, di mana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan mengalami satu bariere / halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan.
Arti frustasi yang lain adalah :
a. Penghalangan tingkah laku yang tengah berusaha mencapai satu tujuan.
b. Suatu keadaan ketegangan yang tidak menyangka, disertai kecemasan dan meningkatnya kegiatan simpatetis, disebabkan oleh hambatan atau halangan.
Dengan kata lain, frustasi adalah kondisi seseorang yang dalam usaha dan perjuangannya mencapai satu tujuan jadi tehambat, sehingga harapannya menjadi gagal dan ia merasa sangat kecewa lalu orang menyatakan : dia mengalami frustasi. Frustasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk tingkah laku reaktif, misal : seseorang dapat mengamuk dan menghancurkan orang lain, merusak barang, frustasi juga dapat memunculkan titik tolak baru bagi satu perjuangan dan usaha atau bisa juga menciptakan bentuk – bentuk adaptasi baru dan pola pemuasan kebutuahan yang baru.
Jadi, frustasi dapat menimbulkan situasi yang menggantungkan kehidupan batin seseorang yang positif. Tapi juga dapat mengkritisi situasi yang merusak atau yang negatif, sehingga mengakibatkan timbulnya macam – macam bentuk gangguan mental.
2. Penyebab terjadinya frustasi
Bagi individu yang mengalami frustrasi, emosi biasanya disebabkan faktor eksternal yang berada di luar kendali mereka. Meskipun frustrasi ringan karena faktor internal (misalnya kemalasan, kurangnya upaya) sering merupakan kekuatan positif (motivasi inspirasi), ini lebih sering dari pada tidak masalah tak terkendali dirasakan bahwa instigates lebih parah, dan mungkin patologis, frustrasi. Seorang individu yang menderita frustrasi patologis akan sering merasa tidak berdaya untuk mengubah situasi mereka dalam, menyebabkan frustrasi dan, jika dibiarkan tidak terkendali, kemarahan lebih lanjut.
Frustrasi dapat menjadi hasil dari memblokir perilaku termotivasi. Seorang individu dapat bereaksi dengan beberapa cara berbeda. Dia / Dia mungkin akan menjawab dengan metode pemecahan masalah yang rasional untuk mengatasi penghalang. Gagal dalam hal ini, ia dapat menjadi frustasi dan bersikap tidak rasional. Contoh penyumbatan energi motivasi akan menjadi kasus seorang pekerja yang ingin waktu untuk pergi memancing namun ditolak izin oleh atasannya. Contoh lain akan menjadi eksekutif yang ingin promosi tapi menemukan dia tidak memiliki kualifikasi tertentu. Jika, dalam kasus ini, permohonan untuk alasan tidak berhasil dalam mengurangi hambatan atau dalam mengembangkan beberapa pendekatan alternatif yang masuk akal, individu mungkin frustrasi resor untuk metode adaptif kurang berusaha untuk mencapai tujuan. Dia / Dia mungkin, misalnya, serangan penghalang fisik , verbal atau keduanya.
3. Gejala frustasi
Frustrasi dapat dianggap sebagai perilaku masalah-respon, dan dapat memiliki sejumlah efek, tergantung pada kesehatan mental individu. Dalam kasus positif, frustrasi ini akan membangun sampai tingkat yang terlalu besar bagi individu untuk bersaing, dan dengan demikian menghasilkan tindakan yang diarahkan pada memecahkan masalah yang melekat. Dalam kasus-kasus negatif, bagaimanapun, individu mungkin melihat sumber frustrasi berada di luar kendali mereka, dan dengan demikian frustrasi akan terus membangun, yang akhirnya untuk perilaku bermasalah lebih lanjut (misalnya reaksi kekerasan).
I. Dampak positif
Berikut beberapa dampak atau bentuk reaksi frustasi yang membantu atau positif dan negatif :
a. Mobilisasi dan penambahan kegiatan
Jika seseorang dalam usahanya mencapai satu tujuan mengalami satu rintangan besar. Maka sebagai reaksinya bisa terjadi satu pengumpulan untuk menjebol hambatan – hambatan yang menghalangi. Berbagai kesulitan dan hambatan dalam kehidupan sehari – hari bisa menjadi tantangan. Tantangan ini bisa terlalu berat sehingga terjadilah kegagalan dan kemusnahan yang tragis.
b. Berfikir secara mendalam disertai wawasan jernih
Setiap frustasi memberikan masalah sekaligus tantangan pada manusia untuk di atasi. Kejadian ini memaksa dirinya untuk melihat realitas dengan jalan mengambil jarak pengambilan distansi ini merupakan syarat pertama untuk berfikir secara mendalam disertai wawasan jernih. Berfikir secara mendalam dengan wawasan tajam dan jernih memanggil perspektif – perspektif baru dan memberikan kemungkinan-kemungkinan lain, juga memberikan kesempatan untuk menilai arti dari frustasi tersebut menurut proporsi sebenarnya.
c. Kompensasi atau substitusi dari tujuan-tujuan
Kompensasi adalah usaha menggantikan atau usaha mengimbangi sesuatu yang dianggap minder atau lemah. Kegagalan seseorang dalam satu bidang yang banyak menimbulkan rasa kecemasan, ketegangan dan derita batin, kemudian dialihkan pada suatu pencapaian sukses di bidang lain.Satu kesibukan atau satu pelaksanaan tugas itu jika mengalami hambatan selalu saja akan memanggil satu system ketegangan yang kuat dan menuntut adanya penyelesaian. Penyelesaiannya dapat pula berbentuk penggantian tugas – tugas tadi.
II. Dampak negative
a. Agresi
Agresi adalah kemarahan yang meluap – luap dan orang melakukan serangan secara kasar dengan jalan yang tidak wajar karena orang selalu gagal dalam usahanya, reaksinya sangat primitif, berupa kemarahan dan luapan emosi kemarahan yang meledak – ledak. Kadang – kadang disertai perilaku kegilaan tindak sadis dan usaha membunuh orang seperti yang diungkapkan Chaplin dalam Kartono. Agresi adalah sebarang reaksi terhadap frustasi berupa serangan, tingkah laku bermusuhan terhadap orang atau benda. Kemarahan – kemarahan semacam ini pasti mengganggu fungsi inteligensi, sehingga harga diri orang yang bersangkutan jadi merosot disebabkan oleh tingkah lakunya. Yang agresif berlebih – lebihan tadi, sebagai contoh : Seorang siswa yang sedang melaksanakan ujian semester, misalnya meminta jawaban dari teman yang lain, karena temannya tidak mau mengasih jawaban kepada siswa tersebut, siswa tersebut menjadi benci dan menjadi bermusuhan, bahkan siswa tersebut menghina temannya di depan kelas. Bila agresi berlebih – lebihan tersebut menjadi kemarahan yang kronis, maka hal ini sering menyebabkan timbulnya penyakit hipertensi atau tekanan darah tinggi.
b. Regresi
Regresi adalah perilaku yang surut kembali pada pola reaksi atau tingkat perkembangan yang primitif, pada pola tingkah laku kekanak – kanakan, infantile dan tidak sesuai dengan tingkah usianya. Semua ini disebabkan karena individu yang bersangkutan mengalami frustasi berat yang tidak tertanggungkan. Pola resikonya antara lain, berupa : menjerit – jerit, berguling – guling di tanah, menangis meraung – raung, membanting kaki, mengisap ibu jari, mengompol, berbicara gagap. Tingkah laku demikian ini mungkin bisa menimbulkan respon simpati dari orang lain, terhadap dirinya dan orang yang bersangkutan untuk sementara waktu bisa terhibur atau merasa puas, akan tetapi pada hakekatnya tingkah laku kekanak – kanakan itu merupakan ekspresi dari rasa kalah, menyerah dan keputusasaan.
c. Rasionalisasi
Menurut Chaplin dalam Kartono Rasionalisasi adalah proses pembenaran kekalutan sendiri dengan mengemukakan alasan yang masuk atau yang bisa diterima secara sosial untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya. Jika seseorang mengalami frustasi dan kegagalan, biasanya ia selalu mencari kesalahan dan sebab musababnya pada orang lain, atau mencarinya pada keadaan di luar dirinya, dia menganggap dirinya yang benar dan orang lain atau kondisi dan situasi dari luar yang menjadi bidang keladi dari kegagalannya. Dia tidak mau mengakuai kesalahan dan kekurangan sendiri. Ia selalu berusaha membelai – belai harga dirinya. Semua pujian dari luar dan pembenaran diharapkan bisa memuaskan perasaan sendiri, dan bisa membelai – belai harga dirinya. Dia selalu menuntut agar segala perbuatan dan alasannya dibenarkan oleh pikiran/akal orang lain. Karena itu perilakunya disebut sebagai rasionalisasi. Misal : seorang yang gagal melaksanakan tugasnya akan berkata ”tugas itu terlalu berat bagi pribadi saya yang masih amat muda ini”, atau dalih ”tugas semacam itu bagi saya tidak ada harganya, dan tidak masuk dalam bidang perhatian saya.
B. Kesehatan Mental
1. Pengertian kesehatan mental
Sehat adalah suatu keadaan berupa kesehatan fisik, mental dan sosial secara penuh dan bukan semata – mata berupa absensinya penyakit atau keadaan tertentu. Winkel. Sehat menurut World Health Organization (WHO) seperti yang dituliskan Notosoedirdjo dan Latipun merupakan keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan atau cacat. Artinya, orang yang tidak sakit belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan sempurna baik fisik, mental maupun social.
Mental merupakan sisi kejiwaan manusia berupa non fisik. Seseorang yang memiliki gangguan mental, seperti yang Notosoedirdjo dan Latipun dapat dikenali dengan memahami gejalanya. Sebagai contoh adalah pada orang yang menderita depresi, gangguan kecemasan, kepribadian dan sebagainya. ) mental juga terdapat dalam kepribadian – kepribadian yang matang tidak dikontrol oleh trauma – trauma dan konflik masa kanak – kanak. Orang – orang yang neurotis terikat atau, terjalin erat pada pengalaman – pengalaman masa kanak – kanak, tetapi orang yang sehat bebas dari paksaan masa lampau.
Kesehatan mental adalah kedamaian hati, keseimbangan jiwa yang tergantung pada hubungan dan integrasi dari manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, juga keserasian dan keharmonisan dengan rokhani sendiri atau suatu proses yang mempermasalahkan kehidupan kerokhanian yang sehat, fungsi – fungsi manusiawi yang mencakup aspek bawaan, kesadaran jiwa dan totalitas psikhotisis yang komplek dan berusaha untuk menghilangkan adanya gangguan – gangguan jiwa, dengan indikator sebagai berikut : efisiensi terhadap semua tindakan, memiliki tujuan hidup yang sehat, realistis, bergairah dan tenang batin.
Menurut Zakiyah Darajat, kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala – gejala gangguan jiwa (neurose) dan gejala – gejala penyakit jiwa (psychose). Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan masyarakat serta lingkungan pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, kepada kebahagiaan diri dan orang lain serta terhindar dari gangguan – gangguan dan penyakit- penyakit jiwa, terwujudnya keharmonisan yang sungguh – sungguh antara fungsi – fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem – problem biasa yang terjadi dan merasakan kebahagiaan dan percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri.
Menurut Notosoedirdjo dan Latipun sehat mental merupakan terbebasnya dari gangguan dan sakit mental. Pengertian lainnya lebih menekankan pada kemampuan individual dalam merespon lingkungan. Selain itu juga ada yang menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif.
Notosoedirdjo dan Latipun menekankan prinsip dasar dalam kesehatan mental, yaitu :
a. Kesehatan mental itu lebih dari tiadanya perilaku abnormal,
b. Kesehatan mental itu konsep yang ideal, dan
c. Kesehatan mental sebagai bagian dari karakteristik kualitas hidup.
Gangguan mental dalam beberapa hal disebut perilaku abnormal yang juga dianggap sama dengan sakit mental, dan sakit jiwa. Namun demikian kita menyadari bahwa gangguan mental itu diakui adanya di masyarakat. Sama halnya dengan yang terjadi pada gangguan fisik, gangguan mental ini pada dasarnya juga terdapat di semua masyarakat.
Kesehatan mental sebagai kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal ini sesuai dengan keadaan orang lain. Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang memperoleh perkembangan ini pada anggota masyarakat selain pada saat yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang lain. Sedangkan menurut Gladstone kesehatan mental adalah kemampuan seseorang untuk dapat memperkembangkan dirinya sesuai tuntutan realitas sekitarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah suatu kondisi dari seseorang maupun kelompok baik secara fisik atau jiwa dalam mengembangkan dan memanfaatkan fungsi dan potensi diri terhadap diri sendiri masyarakat maupun lingkungan.
2. Ciri – ciri Mental yang Sehat
Berkenaan dengan pribadi yang normal dan mental yang sehat, Kartono dalam Yusak Burhanudin, yaitu:
a. Memiliki rasa aman (sense of security) yang tepat, mampu berhubungan dengan orang lain dalam bidang kerja, pergaulan dan dalam lingkungan keluarga,
b. Memiliki penilaian (self evaluation) dan wawasan diri yang rasional dengan harga diri yang tidak berlebihan, memiliki kesehatan secara moral dan tidak dihinggapi rasa bersalah, selain itu juga dapat menilai perilaku orang lain yang asosial dan tidak manusiawi sebagai gejala perilaku yang menyimpang,
c. Mempunyai spontanitas dan emosional yang tepat dan mampu menjalin relasi yang erat, kuat dan lama seperti sebuah persahabatan, komunikasi sosial dan menguasai diri sendiri,
d. Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, tanda ada fantasi angan dan angan – angan yang berlebihan. Pandangan hidupnya realitas dan cukup luas. Sanggup menerima segala cobaan hidup, kejutan – kejutan mental, serta nasib buruk lainnya dengan besar hati. Memiliki kontak yang riil dan efisien dengan diri sendiri, dan mudah melakukan adaptasi atau mengasimilasikan diri jika lingkungan sosial atau dunia luar memang tidak bisa diubah oleh dirinya,
e. Memiliki dorongan dan nafsu – nafsu jasmaniah yang sehat dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat. Namun tidak diperbudak oleh nafsunya sendiri,
f. Mempunyai pengetahuan yang cukup dengan memiliki motif hidup yang sehat dan keadaan tinggi. Dapat membatasi ambisi – ambisi dalam batas kenormalan. Juga patuh terhadap pantangan – pantangan pribadi dan yang bersifat sosial,
g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, sehingga dapat dicapai dengan kemampuan sendiri serta memiliki keuletan dalam mengejar tujuan hidupnya agar bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya,
h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup dalam mengolah dan menerima pengalamannya dengan sikap yang dihadapi untuk mencapai kesuksesan,
i. Memiliki kesanggupan untuk mengekang tuntutan – tuntutan dan kebutuhan – kebutuhan hidup dari kelompok, dan
j. Memiliki emansipasi yang sehat terhadap kelompok dan kebudayaan bangsanya dan terhadap perubahan – perubahan jasmani dan rohaniah.
C. Kaitan frustasi dengan kesehatan mental
Manusia merupakan makhluk sosial, artinya telah menjadi hal yang wajar jika manusia tidak dapat hidup nyaman jika merasa sendiri di tengah-tengah keramaian, terlebih lagi di dalam kesendiriannya. Oleh karena itu agar terjalin hubungan yang baik antarindividu, maka seorang individu perlu melakukan penyesuaian diri, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap individu lain yang sering bersinggungan dengan dirinya, maupun terhadap lingkungan yang menjadi latar terjadinya interaksi tersebut.
Sebab jika sesorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki kelainan atau gangguan pada jiwanya, pernyataan ini sejalan dengan pendapat Zakiah Darajat, yang bunyinya:
“Gangguan jiwa dan penyakit jiwa merupakan akibat dari tidak mampunya seseorang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup ia menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.”
Kalau dikaitkan dengan masalah frustasi, bahwa frustasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, Jadi jelaslah bahwa frustasi sangatlah erat kaitannya dengan kesehatan jiwa/mental, yaitu semakin rendah tingkat frustasi seseorang, maka semakin sehatlah mentalnya, namun sebaliknya semakin tinggi tingkat frustasi seseorang, maka semakin terganggulah kesehatanmentalnya.
Toleransi Frustasi pada Skizofrenia
BalasHapusToleransi frustasi adalah suatu keadaan dimana seorang penderita skizofrenia mampu mengatasi kesulitan, kegagalan dan kekecewaan dalam pencapaian tujuan saat melakukan aktivitas atau perasaan yang sedang dialaminya.
3. Penyebab Ketidakmampuan Mentolerir Frustasi
penyebab ketidakmampuan penderita skizofrenia mentolerir frustasi, yaitu: individu merasa bahwa hal yang dilakukannya sudah benar, ketidakmauan untuk mencoba menyelesaikan aktivitas atau masalah hingga selesai, melakukan penolakan atas kondisi yang sedang dialami dan kurangnya pengetahuan dalam menyelesaikan suatu masalah atau aktivitas.
4. Dampak pada skizofrenia
Seseorang dengan gangguan skizofrenia apabila tidak mampu mentolerir frustasinya akan menimbulkan dampak buruk pada dirinya. Dampak tersebut yaitu: individu akan semakin jauh dari dunia nyata dan hanyut dalam pikirannya sendiri jadi individu tidak mampu membedakan antara kehidupan nyata dengan kehidupan yang tidak nyata (halusinasi), tidak mampu menyelesaikan tugas, kegagalan dalam interaksi sosial, tidak mau memperdulikan lingkungan jadi pasien tidak peduli terhadap keadaan di lingkungan tempat tinggalnya, mudah marah bila mengalami kegagalan, dan melakukan pembenaran atas tindakan yang dilakukan jadi pasien merasa tindakan yang dilakukannya sudah benar meskipun sebenarnya itu salah.
5. Meningkatkan toleransi frustasi
Seseorang dengan gangguan skizofrenia harus mampu meningkatkan toleransinya terhadap frustasi.Cara meningkatkan toleransi terhadap frustasi yaitu: dengan cara melakukan aktivitas seperti dari yang mudah sampai yang sulit ( gradasi aktivitas ), berhenti sejenak ketika mengalami kesulitan dalam aktivitas lalu berfikir sejenak mencari jalan keluarnya, tarik nafas untuk membuat otak menjadi relaks dan mampu memahami masalah, minta bantuan kepada orang lain ketika mulai merasa frustasi atau gagal melakukan aktivitas.
ada tambahan materi ni min bisa dipostkan sebagai tambahan materi