Rabu, 04 Mei 2011

RABI’AH AL ADAWIYAH : MAHABBAH

A. Biografi Rabi’ah Al Adawiyah
Di dalam sejarah Islam klasik, ada dua tokoh terkenal yang bernama Rabî’ah; dan kesamaan nama ini terkadang mengaburkan penisbahan riwayat-riwayat kepada masing-masing tokoh. Rabî’ah yang pertama hidup di Yerussalem, Palestina, dan wafat pada tahun 135 H/753 M, sedangkan Rabi’ah yang lebih muda berasal dan hidup di Bashrah, serta wafatnya pada tahun 185 H/800 M.
Tokoh yang dimaksudkan di sini adalah Rabi’ah muda yang secara lengkap bernama Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-Qishiyyah. Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh namun sangat miskin, dalam suasana kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah. Menurut riwayat, prosesi kelahirannya di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran ketidak-mampuan sang ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya, disebutkan bahwa orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu.
Namun tidak hanya itu, penderitaan Rabi’ah di masa kecil semakin bertambah ketika harus menjadi yatim piatu. Bahkan, ketika kedua orang tuanya meninggal dan saudara-saudaranya terpencar, dia diambil dan dijual oleh penjahat sebagai budak dengan harga yang sangat murah ketika itu, yakni enam dirham.
Pengalaman masa kecil ini tampaknya sangat berpengaruh kepada jiwa Rabî’ah, sehingga meskipun ia telah menjadi budak dari keluarga Atik asal suku Qais klan Adwah di mana kemudian nama al-Qishiyyah al-Adawiyyah dinisbahkan, namun dirinya semakin berusaha untuk mendekat kepada Allah swt. Setelah sang majikan mengetahui kesalehan dan kesufian dia, maka iapun rela memerdekakannya.
Rabi’ah hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Dalam sebuah riwayat tasawuf, disebutkan bahwa rumah Rabi’ah pernah dimasuki pencuri ketika dia sedang qiyâm al-lail. Karena tidak mendapati sesuatu barang berharga pun di rumahnya, maling itu berusaha mengambil bejana tempat wudhu Rabi’ah. Namun anehnya dia tidak bisa keluar dari rumah itu sampai akhirnya meminta maaf kepada Rabi’ah. Kala itu Rabi’ah mengatakan bahwa dia boleh membawa apa saja di rumah itu selain bejana tersebut, karena menurutnya, itulah satu-satunya benda berharga miliknya yang digunakannya untuk bersuci.
Syaiban al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabiah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan yang lain rabiah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada makhluk”.
Muhammad bin washi pernah bertanya kepada Rabiah, kenapa kau (Rabiah) berjalan seperti orang mabuk (terduyun-duyun), Rabiah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya”.
Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabiah “bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini selain Dia”.
Mengenai akhir hidup Rabiah, Muhammad bin Amr berkata, “Aku datang melihat Rabiah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabatnya dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.
Rabiah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabiah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “bangunlah dan keluarlah !” lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu, terdengar suara Rabiah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara:
 • •      •       • 
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr : 27-30).
Rabiah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Ilahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah, seperti Sofyan ats-Sauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabiah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.
Rabi’ah al-‘adawiyah

Rabi’ah berasal dari basrah, beliau berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa kecil beliau cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang lainnya yang beliau teladani dari ayahnya, termasuk dalam hal memilih makanan yang halal, sampai suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian rabiah terdiam seolah meminta penjelasan dari ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian rabiah berkata:”ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan wajah penuh heran ayahnya menatap wajah Rabiah kecil itu sambil bertanya balik:”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau menjawab:”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematangn pemikiran dan memiliki akhlak yang baik.
Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya perahu yang sehari-hari digunakan ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bernmunajat kepada Allah SWT, sampai akhirnya beliau di datangi para malaikat yang bercahaya yang memberikan kabar bahwa beliau adalah orang pilihan Allah, dan sejak saat itu beliau memutuskan untuk tidak memperdulikan dunia dan memilih untuk mengabdi kepada Allah. Bahkan yang lebih hebat beliau memutuskan untuk tidak mau menikah karena alasan yang bersifat moral dan spiritual, sebagaimana hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepa beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, belia menjawab:”pernikahanmerupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab:”di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa akhu akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surge) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”.
Rasa cinta tak mungkin terwujud kecuali setelah tertanam keyakinan yang teguh, dank arena itu pula orang yang paling sempurna cintanya kepada Allah adalah Nabi Muhammad SAW sehingga orang-orang Arab memberikan julukan “Muhammad adalah kekasih Allah”. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa cinta adalah jalan untuk merasakan kenikmatan iman, mengenai hal ini beliau bersabda:”ada tiga hal jika dimiliki seseorang, ia akan merasakan betapa nikmat dan manisnya iman. Pertama bahwa ia lebih mencintai Allah dan RasulNya dari pada apapun, yang kedua jika ia mencintai seseorang, maka cintanya karena Allah, dan yang ketiga ia benci menjadi kafir lagi setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak senang dilempar ke dalam neraka”. Selain itu rasa cinta sulit sekli untuk didefinisikan, sebab perasaan yang terkandung di dalam sanubari manusia terlalu luas untuk didefinisikan, namun diantara tanda-tanda seorang yang cinta kepadaNya adalah selalu menyambut seruan orang yang dicintainya, melaksanakan segala yang diperintahNya, selain itu ia melepaskan dirinya dari ikatan dosa dan maksiat, lalu bergerak maju menuju yang maha esa, ingin selalu dekat padaNya dengan, selalu rindu padaNya, ingin selalu menghadap dan bermunajat padaNya dan jika berjauhan ia selalu merasa tersiksa.
Sedangkan kerinduan adalah keinginan hati untuk melihat kekasih, bagaikan api Allh yang dikobarkan di hati kekasihNya sehingga membakar kecemasan, nafsu yang terpendam di hati mereka. Bila seorang hamba telah mencapai batas kerinduan maka ia ingin segera menmui kekasihnya, sekan-akan ia ingin terbang menemuiNya. Kalau cinta sudah mencapai tingkat kerinduan, maka lama kelamaan perasaan itu berkembang menjadi cinta yang membara, sehingga bila mendengar nama Allah yang maha suci, bergetar seluruh jiwa raganya dan berkobar rasa rindu dalam hatinya. Bila kerinduan dan keinginan yang menggelora semakin besar, maka cinta pun akan meningkat pada derajat fana (tidak merasakan apa yang dilihat secara zohir, karena yang dirasakan hanyalah Allah semata) ia tidak lagi merasakan penderitaan, kepedihan, atau cobaan apapun yang menimpanya.

ja’far sulaiman, beliau menuturkan bahwa sufyab tas-tsauri memegang tanganku dan berkata tentang Rabiatul adawiyyah: ‘bawalah aku kepada guru (rabiah), sebab jika aku berpisah darinya makaa aku tidak akan mendapatkan ketentraman”. Dan ketika kami sampai di rumah Rabi’ah, sufyan mengangkat tangannyadan berkata:”wahai tuhan, berilah aku keselamatan!”. Mendengar itu Rabi’ah menangis sambil berkata:”tidaklah engkau tahu bahwwa keselamatan sejati dari dunia hanya dapat dicapai dengan meninggalkan semua yang ada di dalamnya, jadi bagaimana kau bisa meminta seperti itu jikalau masih berlumuran dunia?”.
syaiban al-ubulli menuturkan: aku mendengar Rabiah berkata “setiap sesuatu memiliki buah, dan buah pengetahuan tentang tuhan (marifat) adalah orientasi diri kepada tuhan setiap saat”. Dan dalam penuturan yang lain rabiah pernah ditanya tentang kecintaannya kepada nabi Muhammad SAW, beliau menjawab “sungguh aku cinta kepadanya, tetapi cinta kepada sang pencipta telah memalingkan aku dari cinta kepada mkhluk”.
Muhammad bin washi pernah bertanya kepada Rabiah, kenapa kau (Rabiah) berjalan seperti orang mabuk (trduyun-duyun), Rabiah menjawab “semalam aku mabuk oleh cinta kepada tuhanku hingga aku bangun dalam keadaan mabuk karenanya”.
Sufyan ats-tsauri bertanya kepada Rabiah “bagaimanakah cara yang paling baik untuk mendekatkan diri kapada Allah?”, beliau menjawab sambil menangis;”cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekati Allah adalah dia harus tahu bahwa dia tidak boleh mencintai apapun di dunia atau diakhirat ini selain Dia”.
B. Konsep Mahabbah
Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentuselamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karenaorang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain jugamencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya darikekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengancinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.
Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.
Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:
Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku
Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu kualitas yang mengejawantahdalam hati orang beriman yang taat, dalam bentuk penghormatan danpengagungan, sehingga ia berusaha memuaskan Yang Dicintainya danmenjadi tidak sabar dan resah karena keinginannya untuk memandang-Nya,dan tidak bisa tenang dengan siapa pun kecuali Dia, dan menjadi akrabdengan mengingat (dzikr) Dia, dan bertekad akan, melupakan segala yanglain. Diam menjadi haram baginya, dan tenang lenyap darinya. Iaterputus dari semua kebiasaan dan hubungan-hubungan dengan sesamanya,dan menyangkal hawa nafsu, dan berpaling kepada istana cinta dan tundukkepada hukum cinta dan mengenal Allah melalui sifat-sifat sempurna-Nya.
Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil.Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathilpula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya jugaterkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.
Mahabbah dimaksudkan di sini ialah mahabbatullah, cinta kepada Allah, sebagai kelanjutan daripada ma’rifah. Karena itulah maka setelah ma’rifah terhadap Allah yang membuahkan iman yang sebulat-bulatnya, setelah menyadari akan kemuliaan-Nya, kesempurnaan-Nya, keindahan-Nya dan kasih sayang-Nya, kemurahan-Nya serta sifat-sifat lain yang mengiring-Nya maka menjelmalah cinta kepada-Nya.
Mahabbah kepada Allah bukanlah sembarang cinta melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa, Mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebesar-besar kewajiban iman, cirinya orang yang beriman itu ialah terlebih cinta kepada Allah dibandingkan dengan cintanya kepada apapun dan siapapun :
     ..... 
“ Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”
Menurut Al-gozali,cinta kepada Tuhan itu adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi, segala maqam yang sesudahnya adalah buahnya dan segala maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapai mahabbah.
Rasa cinta kepada Tuhan itu sudah bergerak dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya. Menurut Al-Ghazali, itulah daya penggerak yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Menurut Al-Palimbani, makrifah yang hakiki itu lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Pokok pendirian tasawuf Rabî’ah adalah tentang cinta sejati, di mana dia mengabdi atau beramal saleh semata-mata karena kecintaan tulus dan bulat terhadap Allah swt. Bahkan, lantaran seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai ataupun membenci yang lain.
Di dalam kitab al-Wâfî bi al-Wafayât karya al-Shafadî (w. 748 H.), disebutkan sebuah munajatnya, ketika mana Rabi’ah bersyair:
إلهي تحرق بالنار قلباً يحبك
Maka kala itu terdengar suara hâtif:
ما كنا نفعل هذا فلا تظني بنا ظن السوء
Di dalam Kholasa-ye Syarh-e Ta’aruf juga disebutkan sebuah anekdot ketika Rabi’ah sedang ditimpa sakit. Serombongan orang datang mengunjunginya seraya menyatakan turut berdukacita atas sakitnya itu. Mereka menanyakan tentang kesehatannya, Rabi’ah pun menjawab, “Demi Allah, semua yang kuketahui ialah bahwa sekarang ini surga telah ditampakkan kepadaku, dan hatiku merasa sangat merindukannya. Kukira, kecemburuan Tuhan Maha Agung telah menghukum diriku melalui penyakit ini. Inilah sejenis teguran dari Allah.”.
Kemasyhuran yang diperolehnya adalah karena ia membawa dan mengemukakan konsep baru dalam hidup kerohanian. Konsep zuhud yang membawa Hasan al-Bashri beranjak karena faktor khauf dan raja, dikembangkan oleh Rabi’ah kepada konsep zuhud karena cinta. Menurut beberapa orientalis yang mendalami kajian tasawuf, seperti Nicholson, pentingnya kedudukan Rabiah adalah karena dia menandai konsep zuhud dengan corak lain tersebut. Sedangkan dalam tinjauan insider, tentunya pentingnya kedudukan Rabi’ah lebih kepada ketinggian penghayatannya terhadap konsep mahabbah, sehingga faktor kecintaan tauhidiyyah kepada Allah swt. menjadi landasan segenap amal ibadahnya di dalam menjalani kehidupan dunia ini.
Kecintaan Rabi'ah kepada Allah telah melewatkan pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :
"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "
Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar