A. Biografi Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah bin Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Harits, ibunya bernama Siti al-‘aliyha binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik al-azdiyah, Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat pada hari ahad pada tanggal 10 Robiul awal 179 H/798 M diusia 90 tahun pada masa pemerintahan Abasyiah di bawah kekuasaaan Harun al-rasyid. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ia berada di dalam kandungan ibunya selama 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan 3 tahun. Beliau terdidik di kalangan sahabat Anshar dan Muhajirin yang cerdas dan pandai ahli hokum Islam, dalam suasana seperti itulah beliau tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal, pelajan yang pertama kali diterima adalah membaca, memahami makna dan tafsir al-quran, kemudian berlanjut kpada penghafalan dan beranjak kepada penekunan bidang hadits, sehingga beliau dijuluki sebagai ahli hadits. Adapun guru yang pertama kali dan erat pergaulannya dengan beliau adalah imam Abdurrahman bin Hurmuz salah seorang ulama besar Madinah, kemudian beliau belajar fiqih kepada salh seorang ulama besar kota Madinah yang bernama Rabi’ah al-Rayi dan dilanjutkan kepada Nafi’ Maula bin Umar dan Imam Ibnu Syihab al-zuhry untukmempelajari hadits, bahkan dalam sebuah riset bahwa guru beliau tidak kurang dari 700 orang, 300 diantaranya tergolong para tabi’in.[1]
Ketika belajar, imam Malik berkonsentrasi dalam 4 macam ilmu, yaitu
1. Cara membantah pengikut-pengikut hawa nafsu, orang-orang yang mengembangkan kesesatan dan sebab-sebab berbeda pendapat dalam hokum fiqih, ilmu ini dipelajari dari Ibnu Hurmuz.
2. Fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in
3. Fiqih ijtihad (cara menggunakan qiyas dan mashlahah)
4. Hadits-hadits Rasulullah, dengan mendatangi orang-orang yang dapat dipercayai riwayatnya dan mempunyai pengetahuan yang mendalam.[2]
Beliau dikenal sebagai ulama yang beraliran ahli hadits, namun beliau tidak menolak ahli ra’yu secara keseluruhan, ini terbukti dengan metode qiyas, maslahah mursalah dan istihsan yang digunakan sebagai metode istidlal dalam menentukan hokum suatu perkara. Begitu kuat keyakinan imam Malik mengenai apa yang dipebuat oleh penduduk ahli madinah terutama dalam bidang agama, karena beliau yakin bahwa semua yang dilakukan orang madinah adalah hasil mencontoh amalan Nabi SAW, dengan alasan bahwa Madinah adalah kota terakhir yang ditinggali Nabi, dan para sahabat pun banyak yang menetap di sana, sehingga jika dibandingkan dengan kota lain, Madinahlah kota yang paling banya perbendaharaan haditsnya, artinya seseorang akan lebih mudah mengenal hadits di Madinah ketimbang di kota lain saat itu, sehingga Madinah dijuluki sebagai Dar al-sunnah. Selain itu Madinah masih terkenal sebagai kota yang masih sangat sederhana kehidupannya, sehingga memungkina penggunaan sunnah saja sudah cukup dalam penyelesaian masalah yang terjadi.
Pada mulanya mazhab Maliki muncul dan berkembang di Madinah tempat kelahiran beliau, kemudian berkembang ke Hijaz, dan sempat surut di Mesir karena kalah pamor dengan pendapat imam Syafi’i, dan kemudian pada zaman pemerintahan Ayubiyyah mazhab Maliki kembali hidup, sedangkan di Andalusia mazhab Maliki berkembang pesat karena mendapatkan dukungan dari pejabat Negara, dan sampai sekarang mazhab maliki masih diikuti oleh beberapa Negara diantaranya Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, Lybia, mesir, Irak, Palestina, Hijaz dan daerah sekitar jazirah Arabia. Semua ini berkat para sahabat imam Maliki yang gigih dalam menyebarkan dan mengembangkan mazhabnya, diantara sahabat-sahabatnya adalah: Usman bin al-hakam al-juzami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Abdurrahman bin al-qasim, Asyhab bin Abdul aziz, Ibnu Abduk Hakam, Haris bin Miskin dan lain-lain.
B. Karya-Karya Imam Malik
Diantara karya-karya imam Malik yang pertama adalah al-muwaththa yang dikarang pada tahun 144 H atas anjuran khalifah Ja’far Mansur. Kitab tersebut mengandung dua aspek, yaitu hadits dan fiqih. Hadits yang terkandung di dalam kitab tersebut berjumlah 4000 hadits yang didapat dari 95 orang sahabat yang tinggal di Madinah, kecuali 6 orang yang berasal dari beberapa daerah lain, namun hadits yang didapat dari keenam orang itu tidak terlalu banyak jumlahnya, sedangkan dari kualitas hadits yang terdapat di dalam kitab tersebut adalah hadits yang bersanad lengkap, mursal, muttasil, dan ada pula yang munqothi’, bahkan ada yang balaghah yaitu yang tidak menyebutkan sanadnya, namun menggunakan kata-kata ima Malik, seperti “balaghani” (telah sampai kepada ku). Adapun kandungan fiqih dalam kitab tersebut disusun berdasarkan sistematika penulisan kitab fiqih lainnya, ada pembahasan thaharah, shalat, zakat, shiam, nikah dan yang lainnya.
Dan yang kedua adalah kitab al-mudawwanah al-kubra, kitab ini merupakan kumpulan risalah yang memuat tidak kurang dari 1.036 masalah dari fatwa imam Malik yang dikumpulkan oleh Asad bin al-furat al-naisabury (salah seorang murid imam Maliki) dari Tunis. Pada mulanya Asad bin alfurat bertemu dengan murid imam Hanafi di irak yaitu Abu yusuf dan Muhammad dan banyak mendengar permasalahn-permasalahan menurut aliran irak (ahli ra’yu), kemudian beliau pergi menemui murid imam Maliki yang bernama Ibnu al-qasim untuk menanyakan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan oleh kedua murid imam Hanafi, dan jawaban-jawaban itulah yang kemudian ditulis dan dikarang menjadi kitab al-mudawwanah.
Selain dua kitab tersebut, ada beberapa kitab lain yang dikarang imam Malik, sebagaimana diterangkan oleh As-suyuti dalam kitabnya Tazniyul Mamalik, imam Malik mamiliki beberapa kitab lagi, diantaranya sebuah risalah yang ditulis untuk Ibnu Wahab dalam membantah paham qodiriyah, sebuah risalah untuk Hijaz, sebuah risalah tentang hisab dan perputaran matahari dan bulan dan sebuah risalah tentang pengadilan serta sebuah risalah tentang fatwa. Hanya saja kitab-kitab ini tidak diriwayatkan oleh orang banyak, sehingga yang berkembang sampai saat ini adalah al-muwaththa.
C. Metode Istidilal Imam Malik Dalam Menetapkan Hukum Islam Berpegangan Kepada:
1. Al-qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’ ahli madinah
Ijma’ ahli madinah terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
a. Kesepakatan ahli Madinah yang berasal dari Al-naql
b. Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan, Karena pada masa itu belum pernah ditemukan amalan ahli Madinah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW
c. Amalan ahli Madinah yang dijadikan pendukung dalam pentarjihan atas salah satu dari dua dalil yang bertentangan
4. Fatwa sahabat besar yang pengetahuannya berdasarkan al-naql,
5. Khabar ahad dan qiyas
Khabar ahad di sini adalah yang tidak bertentangan dengan segala yang diamalkan oleh masyarakat Madinah. Dalam penggunaannya, imam Malik tidak selalu konsisten, kadang-kadang beliau mendahulukan qiyas dalam penggunaannya, kalau khabar ahad tersebut tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah
6. Al-istihsan
Istihsan adalah beralih dari satu dalil ke dalil lain yang dianggap lebih mendatangkan kemashlahatan atau menghindari kemudaratan
7. Al-mashlahah al-mursalah
Almaslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash, namun tidak pula bertentangan dengannya, hanya saja tujuannya untuk memelihara tujuan diturunkannya syariat, yang tujuan tersebut hanya dapat diketahui melalui al-quran dan sunnah.
8. Sadd al-zariah
Menurutnya semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang, dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
9. Istishab
Istishab adalah menetapkan ketentuan hukum untuk masa sekarang dan yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Dan jika sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut. Contohnya seorang yang yakin telah berwudhu, dan alasan itu diperkuat dengan ingatan bahwa ia baru saja melaksanakan shalat, beberapa saat kemudian datang keraguan apakah ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya ia memiliki wudhu.
10. Syar’u man qablana syar’un lana
Adalah apabila a;-quran dan as-sunah ash-shahihah yang mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukkan buat umat sebelum kita melaluli Rasul-rasulNya, maka hukum itu juga berlaku buat kita, contoh perintah puasa pada surat al-baqarah 183:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”[3]
D. Pendapat-Pendapat Imam Malik Tentang Permasalahan Dalam Bidang Tertentu, Diantaranya:
1. Pendapat-pendapat imam Malik dan pendiriannya dalam bidang aqa’id
Sebaik-baik urusan agama adalah yang telah menjadi sunnah dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan . oleh sebab itu beliau menolak segala macam akidah yang ditimbulkan oleh partai-partai islam dan mengenai akidah beliau berpegang kepada apa yang ditunjuki nash. Beliau berpendapat bahwa iman adalah gabungan dari iktikad hati, ucapan lidah dan amal anggota dan iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Mengenai qodar, beliau berdiri seimbang artinya bahwa segala perbuatan manusia terjadi dengan ciptaan Allah, tetapi manusia punya daya usaha untuk mengusahakannya, karenanya manusia dibalas kelak segala perbuatannya. Dan beliau berpendapat mengenai orang yang berdosa besar dipandang mukmin yang fasik, dan jika Allah menghendaki akan dimaaafkan dan tidak diazab. Dan dalam riwayat lain beliau berpendapat orang yang berdosa besar tetap memiliki kesempatan masuk ke dalam surge Firdaus selama ia tidak menduakan Allah (syirik), selama ia mau bertobat, karena orang yang tidak memiliki kesempatan mendapat ampunan adalah orang yang berdosa besar dalam bidang kepercayaan (aqaid), dan mengenai pendapat melihat Allah di akhirat kelak, beliau berpendapat bahwa kemungkinan makhluk bisa melihat Allah.[4]
2. Dalam bidang politik
Dalam bidang politik, beliau tidak banyak bicara, beliau tidak ingin mencampuri persengkataan dan perselisihan, kita hanya menemukan pendapat beliau bahwa khalifah itu tidak harus dipegang oleh keluarga Hasyim (Alawi), dan jalan memilih khalifah menurut Maliki ialah dengan jalan isikhlaf, asal yang menunjuk itu tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu, atau dengan dimusyawarah oleh panitia Negara yang dibentuk untuk itu, dan pengangkatan itu dilakukan dengan dengan bai’at kaum muslimin.
Menurut pendapat maliki apabila seseorang merebut kekuasaan, tetapi berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, maka kita tidak boleh memberontak terhadapnya, kita harus menaatinya. Tetapi jika tidak berlaku adil beliau juga tidak membolehkan untuk berontak kepadanya. Beliau mengambil jalan mashlahat dalam bidang politik dan menghindari bencana lebih besar.
3. Pesan imam Malik mengenai Bid’ah
Beliau adalah orang yang cinta kepada sunah Nabi dan sangat membenci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan perbuatan yang dalam istilah agama disebut bid’ah. Beliau pernah bersyair: ”sebaik-baiknya urusan agama adalah yang mengikuti sunah nabi dan sejelek-jeleknya urusan agama adalah yang tidak dicontohkan oleh nabi”. Dan dalam kesempatan lain beliau pernah berkata: “barang siapa yang mengada-ada melakukan perbuatan baru dalam urusan agama dan telah menganggap perbutan itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa nabi telah menyembunyikan risalah, padahal Allah telah berfirman: “pada hari ini aku sempurnakan bagi engkau akan agamamu…”.
4. Nasihat imam Malik terhadap sikap taklid
Sebagai mufti besar beliau dtidak pernah mengajarkan atau memberikan paksaan kepada muridnya supaya mengekor (taqlid) terhadap pendapat atau buah pikirannya, beliau berkata: “saya seorang manusia yang terkadang salah, oleh sebab itu lihat dan pikirkanlah baik-baik pendapt saya, jika sesuai dengan al-qur’an dan sunah maka ambillah dan jika bertentangan atau tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Bahkan dalam kesempatan lain beliau pernah berkata: “tidaklah semua perkataan itu harus dituruti sekalipun ia orang yang memiliki kelebihan, ketinggian derajat, atau terpandang mulia, kalau perkataan itu jelas bertentangan atau menyalahi hokum Rasul, maka kita boleh untuk tidak mengikutinya”.[5]
[1] Huzaemah Tahido yamago, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), h.102-104
[2] Teungku M. Hasbi Ash-shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 463
[3] Huzaemah Tahido yamago, Pengantar Perbandingan Mazhab,…, h. 106-115
[4] Teungku M. Hasbi Ash-shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,…, h. 474-475
[5] M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Keempat, h. 200-202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar